Hedonisme Lemahkan Ghazwul Fikri, Semangat Juang dan Infak

Jumat, 2 Agustus 2024 16:11
Gufron Aziz Fuadi Gufron Aziz Fuadi

Oleh Gufron Aziz Fuadi

SAYA tertarik membaca tulisan tentang hedonic treadmill yang mirip dengan istilah body fitness treadmill alias merawat kebugaran tubuh. Kedua istilah mirip karena sama-sama "merawat". Tapi yang dirawatnya berbeda, terakhir merawat  gaya hidup hedon.

Hedone berasal dari bahasa Yunani yang berarti kesenangan, gaya hidup yang berfokus mencari kesenangan dan kepuasan tanpa batas.

Penganut gaya hidup hedon meyakini bahwa kebahagiaan hanya bisa diperoleh dengan mencari kesenangan sebanyak-banyaknya.

Oleh karena itu dalam bahasa gaul, hedon sering dipahami sebagai tindakan melakukan segala sesuatu yang menyenangkan bagi diri sendiri.

Jangan bicara surga setelah kematian. Karena mungkin itulah surganya. Mungkin masih lebih baik ungkapan Jaja Miharja, ketika saya SMP lebih 40 tahun yang lalu, "Muda foya foya, tua kaya raya, mati masuk surga..."

Meskipun agak absurd, tetapi masih ingat akhirat..Sikap seperti individualisme, konsumerisme, egois, pamer harta, kecenderungan pemalas, kurang tanggung jawab, perilaku boros, dan koruptif dalam berbagai bentuk adalah beberapa dampak negatif dari hedonic treadmill.

Maka setiap hari kita akan mendapati postingan flexing glamor dalam makan makan, fashion atau berpakaian dan berkendaraan mewah dan mahal tak perduli uang hasil keringat sendiri, keringat orang tuanya, bahkan hutang pinjol atau dari BLT. Yang penting happy.

Mungkin tidak semua orang sepakat bahwa pola hidup hedonis ini merupakan bagian dari gerakan ghazwul fikri (perang pemikiran) untuk melemahkan semangat berjuang dan berinfak kaum muslimin.

Dan pada akhirnya akan memadamkan semangat jihad dan berkorban. Karena, kata ulama, tidak mungkin berkumpul semangat mencintai dunia dengan semangat  mencintai kematian. Sebab kaidahnya hubbudunya wa karahiyatul maut.

Apalagi Allah sudah memperingatkan:
"Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong) mereka, kelak mereka akan mengetahui (akibat dari perbuatannya)." (Al Hijr: 3)

Juga dalam ayat (al-hākumut-takāsur)
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,

Saya teringat, sekitar lima tahun lalu, ada dua kawan silaturahmi ke rumah. Satu caleg terpilih dan satunya caleg tidak terpilih. Mereka datang minta nasihat. Mungkin mereka menganggap saya sudah tua, meskipun waktu itu rambut belum tumbuh uban.

Kepada caleg terpilih, waktu itu saya sampaikan, tetaplah tampil sederhana. Jangan merubah gaya hidup mengikuti teman temannya dari partai lain.

Karena yang diinginkan oleh kader dan konstituen pemilih adalah melihat wakilnya tetap istiqamah memperjuangkan nilai perjuangan secara bersih, peduli dan profesional.

Mereka, pemilih, bukan ingin melihat wakilnya memposting kegiatan kunker jalan jalan, makan makan atau penampilan glamor dengan sandang, pangan dan papan yang mewah dan baru. Meskipun itu sah dan halal. Tapi ora ilok!

Kemudian, apabila terpaksa harus berubah gaya, jangan terlalu berlebih nanti mbeloknya kejauhan. Susah. Sebab tidak ada jaminan pada pemilu-pemilu berikutnya akan terus terpilih dan terpilih, sehingga sedikit banyak ada biaya untuk bergaya. Biaya hidup itu sebenarnya murah bila sederhana, yang mahal itu gaya nya.

Standarnya, ikuti kepatutan umum. Kalau standar nabi Saw terlalu tinggi. Iman kita masih jauh. Tetapi juga jangan gayanya terlihat sederhana, tetapi jiwa dan otaknya kapitalis seperti orang itu...

Kesederhanaan hidup  Rasulullah SAW itu asli, luar dalam. Malik bin Dinar RA, ia berkata: "Rasulullah SAW tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti atau kenyang karena makan daging, kecuali jika sedang menjamu tamu [maka beliau makan sampai kenyang]," (H.R. Tirmidzi).

Di riwayat lain, Rasulullah SAW bahkan berdoa meminta rezeki kepada Allah SWT sesuai kebutuhan pokoknya saja:

اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا

"Ya Allah, jadikan rezeki keluarga Muhammad berupa makanan yang secukupnya" (HR. Muslim)

Sebagai caleg terpilih harus ingat bahwa masyarakat menghargai orang yang omongannya dipercaya. Jadi, Ojo lamis..., kata penyanyi Manthous.

Si mbah dulu ngendikan: Ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono. Artinya, harga diri seseorang dari lidahnya (omongannya), dan harga diri badan dari pakaian (yang sesuai bukan glamor).

Wallahua'lam bi shawab
(Gaf)
--------

 - 

Berita Terkini