Pemerintah dan DPRD Balam Muluskan Kehancuran Lingkungan

Jumat, 19 Januari 2024 14:45
Gunawan Handoko (Foto Ist) Helo Lampung

Oleh Gunawan Handoko*

SEMUA pihak tentu sangat paham bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) bertujuan untuk mengarahkan pembangunan di suatu daerah dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna.

Artinya, setiap rencana atau program pembangunan agar berpedoman atau mengikuti tata ruang yang ada. Jangan sampai dibalik, tata ruang berubah setiap waktu hanya untuk mengikuti selera pengusaha.

Dalam Perda Nomor 10 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), pada paragraf 4, Pasal 48, sangat jelas bahwa Kecamatan Sukarame termasuk kawasan hutan kota yang ada di Kota Bandarlampung, selain Telukbetung Barat, Panjang Telukbetung Utara, Tanjungkarang Timur, dan Tanjungkarang Barat.

Dijelaskan dalam pasal tersebut bahwa hutan kota ini merupakan ruang terbuka hijau (RTH) publik yang harus dikembangkan pemanfaatan dan pengelolaannya.

Pemerintah Kota Bandarlampung wajib untuk mempertahankan dan merevitalisasi RTH tersebut dengan mencanangkan gerakan Kota Bandarlampung menghijau melalui kegiatan penanaman pohon.

Ironisnya, RTRW tersebut dilakukan peninjauan kembali dengan terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 dengan menghilangkan hutan kota dengan alasan untuk pengembangan kota.

Patut diduga lahirnya Perda Nomor 4 Tahun 2021 ini untuk memuluskan pihak pengusaha yang konon sudah mengantongi Hak Guna Bangunan (HGB).

Jika ditinjau dari perspektif UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah daerah sebagai daerah otonom.

Seharusnya, UU tersebut menjadi momentum yang tepat dalam penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam khususnya dalam rangka mempertahankan eksistensi RTH di lingkungan perkotaan.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya, Pemerintah – khususnya Kota Bandarlampung – bersama dengan legislatif memanfaatkan UU tersebut untuk kepentingan yang lain dengan mengabaikan kebutuhan RTH.

Padahal hingga saat ini Pemkot Bandarlampung masih kesulitan untuk mewujudkan RTH dalam luasan yang cukup sesuai yang diamanatkan undang-undang, yakni 30 persen dari luas wilayah yang ada.

Selain berfungsi sebagai paru-parunya kota, keberadaan RTH ini sekaligus dapat menjadi fasilitas publik atau public space. Alih-alih mengelola RTH dengan menyediakan fasilitas sarana prasarananya yang berkualitas dan bercita rasa, justru RTH yang sudah ada malah dihilangkan.

Tanpa disadari apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandarlampung telah memuluskan kehancuran lingkungan.

* Pengurus PUSKAP (Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan Provinsi Lampung

Berita Terkini