bjb Kredit Kepemilikan Rumah
Helo Indonesia

Jabatan di Mata Politisi  

Anang Fadhilah - Opini
3 jam 29 menit lalu
    Bagikan  
Jabatan di Mata Politisi  
RSUD Ulin Banjarmasin

Jabatan di Mata Politisi   - DR Pribakti (ist/helokalsel)

Tidak bisa disangkal, para politisi mulai siaga menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak bulan November 2024. Mereka yang sekarang berkuasa  mulai pasang kuda-kuda agar tetap berkuasa. Sedangkan yang belum , kini mulai mengatur langkah agar kelak juga bisa duduk di kursi empuk kekuasaan. Kekuasaan memang memesona, menggoda manusia sepanjang masa. Karena dengan kekuasaan, orang bisa berbuat banyak mewujudkan aneka cita-cita.

 

Kekuasaan juga bisa memberikan dua hal yang diidamkan manusia: kekayaan dan ketenaran. Banyak orng menganggap kekuasaan identik dengan kesuksesan. Bukankah orang yang berkuasa , kaya dan terkenal adalah orang sukses? Karena kekuasaan itu amat menarik, orang kadang menghalalkan segala cara untuk bisa meraihnya. Manusia memang pandai berpura-pura dan konon yang paling ahli melakukannya adalah politisi.

 

Tidak heran bila kini banyak politisi menjadi pejabat, bersumpah atas nama Tuhan akan mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan, tetapi yang dia lakukan justru sebaliknya. Mereka ini tidak sepenuhnya salah, karena sejak awal mereka memang membeli jabatan itu. Entah dengan membagi-bagikan uang kepada calon pemilih, entah membayar sekian ratus juta atau miliar kepada seorang calo jabatan, atau memberi setoran rutin kepada atasan yang mengangkatnya.

 

Akibatnya , jabatan ibarat barang dagangan, yang dibeli dengan perhitungan untung rugi. Semakin tinggi jabatan itu, semakin mahal pula harganya. Konon, seperti hal membeli barang, membeli jabatan juga tidak harus bayar tunai. Kredit alias berhutang juga bisa. Misalnya, ada pengusaha yang mau memodali maju di Pilkada. Nanti kalau sudah menjabat, tinggal mencicil dengan memuluskan proyek-proyek untuk si pengusaha.

 

Adapun orang yang sudah menjabat dan ingin memperpanjang jabatannya, ia bisa saja memainkan uang negara. Anggaran negara diatur sedemikian rupa untuk biaya foto dirinya di baliho dan iklan media cetak serta elektronik. Uang negara juga disumbangkan ke lembaga ini dan itu. Seolah uang itu miliknya , bukan milik rakyat.

 

Tidak hanya itu . Untuk mendapatkan jabatan , konon orang juga perlu bantuan dukun atau penasihat spiritual yang sudah tentu perlu dibayar. Kadangkala si penasihat spiritual itu menganjurkan agar si calon sembahyang, berpuasa , membaca doa-doa, atau bahkan bertapa. Tujuannya jelas bukan untuk pahala di akherat atau perkenan Tuhan , melainkan untuk pahala ekonomi dan politik alias jabatan.

 

Demikianlah jabatan akhirnya tidak lebih dari komoditas yang diperjual-belikan di pasar politik. Ia bukan lagi amanah yang diberikan masyarakat kepada seorang, melainkan hasil transaksi ekonomis belaka. Karena itu , naif kiranya mengharapkan pelayanan dan pengabdian dari seorang pejabat semacam itu. Di sisi lain, kita juga tidak boleh marah kepadanya, jika kita sendiri menerima uang jual-beli yang ia berikan.

 

Dalam suasana yang demikian, banyaklah manusia yang kemaruk jabatan, sebab yang tampak bukan lagi tanggung jawab yang berat, melainkan kenikmatan dan kehormatan. Maka untuk menjadi terhormat dan bermartabat, duduklah di jabatan tertentu, meskipun harus membeli. Padahal, seharusnya logika ini dibalik. Jadilah orang yang terhormat dan bermartabat , sehingga kau layak diangkat jadi pejabat.

 

Karena logika jabatan sudah terbalik , maka tidak sedikit orang di zaman sekarang yang menggantungkan ke jabatan ini dan itu, rangkap sana, rangkap sini, meskipun tugas-tugasnya tidak bisa dilaksanakan dengan baik. Yang penting disebut sebagai ketua ini, sekretaris itu , dan bila tiba saat yang tepat, bolehlah fotonya tampil di media, baliho dan spanduk.

*) Pribakti B, dokter senior RSUD Ulin Banjarmasin

 

 

Biasanya orang seperti itu, suatu saat ketika tidak lagi menjabat apa-apa, cenderung akan dilupakan orang. Apalagi jika ketika menjabat, dia sombong, menindas, dan menyakiti orang lain. Ia ibarat bunga plastik. Semula orang terpesona melihat keindahannya, tetapi setelah mengetahui kepalsuannya, orang akan merendahkannya. Begitulah martabat pejabat bunga plastik . Indah tapi palsu!