Helo Indonesia

Mengendalikan Media

Herman Batin Mangku - Opini
Jumat, 7 Juni 2024 16:52
    Bagikan  
Mengendalikan Media
Helo Lampung

Oleh Andi F*

SEPEKAN terakhir, gelombang unjuk rasa para wartawan, aktivis demokrasi, dan masyarakat sipil bergelora menolak revisi Undang-Undang Penyiaran. Jika selama ini mereka meliput dan melaporkan adanya demo, sekarang giliran mereka yang demo sekaligus meliput berita. Ada fenomena apa?

Mencermati dari beberapa tuntutannya, kita bisa membuat kesimpulan bahwa revisi yang sedang diajukan dan segera dibahas di DPR itu berpotensi membungkam pers dan kreativitas media.

Beberapa poin diantaranya: Ancaman terhadap kebebasan pers dan kebebasan berkekspresi; kriminalisasi jurnalis; ancaman terhadap independensi media; dan ancaman terhadap lapangan kerja dunia kreatif.

Masifnya aksi serupa di pusat dan di daerah telah menjadi atensi DPR untuk menunda pembahasan RUU tersebut. Berbeda dengan kebiasaan sebelumnya yang cenderung main “stempel” sah, dalam perkara ini DPR terlihat lebih responsif.

Belum tahu apa kelanjutannya, tetapi setidaknya tema ini memang seharusnya “diendapkan” di dalam pikiran dan hati untuk kemudian mendapatkan solusi terbaik untuk bangsa ini.

Topik demo revisi UU Penyiaran ini memang trending, tetapi sayang terimpit oleh kasus pembunuhan Vina dan Eky yang fenomenal. Namun, beberapa stasiun televisi, ulasan media, podcast, dan forum diskusi lain mengangkat tema ini dengan analisis yang cukup menarik.

Inti dari kesimpulan banyak pakar menyebut bahwa rencana Rivisi Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 itu sebagai upaya Pemerintah untuk “mengendalikan media”.

Dua kata “mengendalikan Media” ini tampak sederhana, tetapi esensinya sangat dalam. Sejarah kekuasaan negara di dunia hampir tidak ada yang sukses mengendalikan media atau mengendalikan pers.

Kalau kita boleh mencatat, saat ini mungkin ada nama Kim Jong Un yang masih sangat keras terhadap kebebasan pers. Zaman lampau, kita merasakan era Orde Baru yang cukup ketat. Dan masih banyak catatan lain.

Para penguasa sebagaimana catatan-catatan sejarah itu cukup berhasil mengendalikan pers, tetapi boleh saya sebut tidak sukses. Dalam arti, mereka berhasil membungkam pers dalam kurun waktu tertentu, tidak sustainable, berkelanjutan.

Sebab, pada dasarnya kebebesan pers itu mirip dengan hak asasi manusia, yakni hak dasar untuk mengetahui yang melekat pada setiap manusia (right to know).

Kembali ke soal mengedalikan media, saya sebagai praktisi komunikasi dan hubungan dengan masyarakat (humas) punya pengalaman kecil.

Beberapa waktu lalu, saya menerima telepon atasan tempat saya bekerja yang komplain atas pemberitaan media.

Bos saya ini tidak sepakat dengan judul berita yang dimuat salah satu media yang menurutnya menohok dan bisa membuat persepsi pembaca jadi berbeda.

Meskipun secara isi, tidak ada masalah dan tidak ada yang keliru.
Menanggapi keberatan itu saya tidak terlalu cemas. Hal ini karena wartawan yang memuat atau media yang menayangkan memiliki hak prerogatif untuk membuat, memilih judul, mengambil angle, maupun isi berita sesuai dengan visinya.

Saya hormat dan menghargai hak wartawan itu sebagai kebebasan berekspresi, selagi tidak membelokkan dan atau menyesatkan pembaca kepada hal yang tidak sesuai fakta.

Sebab, setiap media punya tex book atau gaya dan pangsa pembacanya masing-masing. Mereka ingin selalu tampil berbeda dari yang lainnya.

Silang pendapat dan argumen terlontar dalam percakapan di telepon.

Dengan argumentasi di atas saya memberikan pemahaman bahwa itu termasuk kreativitas media menarik pembaca. Toh secara isi tidak diubah dari dalam pemberitaan. Tetapi apa dikata, jika polemik berkelanjutan, maka kembali pada pasal 1; “pimpinan tidak boleh salah.”

Perdebatan usai. Namun, satu kalimat yang membuat saya terngiang-ngiang adalah statemen beliau tentang fungsi seorang public relation alias humas.

Kalimat itu berbunyi; "Anda seorang Humas, apapun ceritanya harus bisa mengendalikan media."

Sepotong drama itu hanya sebagai ilustrasi saja. Makna yang ingin disimak oleh kita semua sebagai elemen bangsa, meskipun dalam skup terkecil, bahwa ancaman kebebasan pers itu ada di semua level.

Munculnya demo massif penolakan terhadap Revisi UU Penyiaran adalah skup state atau negara, sedangkan drama kecil dalam cerita saya tadi ada pada level dan skup yang lebih rendah.

Bahkan, di level yang paling keraspun, semisal lingkup RT, upaya menghalang-halangi hak untuk tahu (right to know) itu akan selalu ada.
Statmen "kendalikan media" itu selalu memicu perdebatan di kalangan praktisi kehumasan.

Di satu sisi, ada kekhawatiran bahwa kontrol media oleh perusahaan atau pihak berkepentingan lainnya dapat membahayakan demokrasi dan kebebasan pers.

Di sisi lain, humas perusahaan berargumentasi bahwa mengelola citra entitas di depan publik dan membangun hubungan dengan media adalah bagian penting dari tugas mereka.

Dalam diskusi kecil dalam grup media sosial bersama teman yang bergelut dengan berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan, mengemuka setidaknya tiga hal krusial.

Pertama, akan dipersepsikan sebagai upaya sensor informasi yang tidak diinginkan oleh perusahaan atau pemerintah. Ini dapat membatasi kebebasan berekspresi dan menghambat aliran informasi yang akurat.

Kedua, kontrol media dapat digunakan untuk menyebarkan propaganda dan informasi yang menyesatkan. Hal ini dapat memanipulasi opini publik dan merusak kepercayaan pada institusi.

Dan terakhir, kurangnya akuntabilitas; Perusahaan yang mengendalikan media mungkin tidak akuntabel kepada publik. Hal ini dapat menyebabkan penyalah gunaan kekuasaan dan kurangnya transparansi.

Pada banyak buku kehumasan menjelaskan tugas seorang humas perusahaan memiliki tanggung jawab untuk mengelola citra publik perusahaan dan membangun hubungan dengan media.

Hal ini mencakup lima hal; yakni:
1. Menulis siaran pers dan artikel;
2. Membangun hubungan dengan jurnalis;
3. Menanggapi pertanyaan media;
4. Mengatur acara media; dan
5. Memantau liputan media.

Memunculkan argumen di kalangan humas mengelola media adalah bagian penting dari menjalankan bisnis yang sukses.

Dengan membangun hubungan yang positif dengan media, perusahaan dapat memastikan bahwa cerita mereka diceritakan secara akurat dan adil.

Pada konteks ini perlu adanya kesimbangan antara peran humas dan pers dalam mewujudkan sinergi dan hubungan harmonis.

Keseimbangan ini penting dalam mengakomodasi antara kebebasan pers dan hak perusahaan untuk mengelola citra publik.

Untuk mewujudkan keseimbangan itu dapat dicapai dengan menerapkan undang-undang yang melindungi kebebasan pers; mendorong transparansi dan akuntabilitas dari perusahaan; mendidik publik tentang pentingnya media yang bebas dan independen.

Kita harus bekerja untuk memastikan bahwa media tetap menjadi kekuatan yang bebas dan independen yang dapat menginformasikan publik dan menjaga akuntabilitas mereka yang berkuasa.

(*) Praktisi Humas dan Pemerhati Komunikasi Media


 -