bjb Kredit Kepemilikan Rumah
Helo Indonesia

Hawak Mata, Hawak Kuaso

Herman Batin Mangku - Opini
Selasa, 26 Maret 2024 06:20
    Bagikan  
Prof. Sudjarwo
Prof. Sudjarwo

Prof. Sudjarwo - Prof. Sudjarwo

Oleh Prof. Sudjarwo*

ISTILAH "hawak mata" ini sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia, asal kata ini akrab di telinga etnis Lampung dan Komering Sumatera Selatan. Adapun deskripsinya adalah: selalu merasa kurang saat melihat sesuatu, utamanya makanan.

Walau terjemahan ini tidak begitu tepat benar, namun jika diberi contoh besar kemungkinan dapat dipahami maknanya. Penjelasannya sebagai berikut: pada saat bulan Ramadan seperti sekarang ini banyak diantara kita mengumpulkan semua makanan di meja makan.

Bahkan bisa jadi meja tadi tertutup tanpa celah sedikitpun dengan makanan. Namun saat berbuka tiba, ternyata kita hanya minum satu gelas teh panas, rasa dahaga-pun hilang.

Semua makanan terhidang yang kita kumpulkan tadi sebelum berbuka, tidak satupun kita sentuh. Keadaaan inilah yang diberi label “hawak mata”.

Dikisahkan juga seorang petinggi di perusahaan outomotif terkenal di Lampung; beliau ini sangat rajin berpuasa sunah senin-kamis, dan saat berbuka puasa, hidangannya biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa; cukup segelas air teh manis, sepotong kue, sudah cukup, kemudian beliau salat berjamaah di masjid.

Begitu bulan Ramadan, melihat meja makannya penuh dengan makanan kumpulan dari keluarganya, Bapak ini protes akan berbuka di masjid saja, karena di rumah terkena pula wabah hawak mata. 

Hawak mata ternyata tidak hanya melanda meja makan saat Ramadan, saat ini tidak sedikit para politisi terkena perilaku “hawak”; bukan hanya mata, tetapi juga semua kelakuan perpolitikannya.

Bisa dibayangkan Sang Ayah sudah menjadi orang nomor satu, Istri menyusul ingin jadi nomor satu juga di level bawahnya, berikut menantu, anak bahkan jika mungkin cucu, akan digiring untuk berperilaku “hawak kuaso”.

Ada yang mengambil jalur bidang legislatif, ada yang di eksekutif, yang belum terdengar atau luput dari pendengaran wilayah yudikatif.

Memang tidak ada undang-undang yang dilanggar, namun etika atau kesantunan berpolitik sebagai semangat reformasi yang menolak nepotism, rasanya perilaku seperti ini tidak layak dipertontonkan.

Bisa dibayangkan ada petinggi partai yang mencalonkan dirinya, istri, anak, menantu, kemenakan, Om, Tante menjalani parade pencalonan karena didorong oleh “hawak kuaso”.

Ketidaksukaan akan perilaku ini bukan karena “dengki, iri, sakit hati”; akan tetapi didorong oleh rasa ketidaklayakan atau ketidakpatutan saja sebagai manusia yang selayaknya berperilaku budaya santun dalam bernegara.

Sebab nomenklatur sebagai manusia itu memiliki adab dan tatakrama dalam kebersantunan perilaku, terutama pada mereka yang paham akan etika berdemokrasi.

Pengaruh jiwa “kerajaan” tampaknya masih mengalir deras pada darah para petinggi yang modelnya seperti ini. Konsep “kekuasaan-kekeluargaan” seolah termasuk upaya melanggengkan “anak-turun” untuk menduduki singgasana kepemimpinan, dan menyatukan diri untuk selalu berkuasa.

Oleh sebab itu rekayasa sosial dalam bentuk apapun ditempuh, guna mewujudkan cita-cita keluarga dalam membangun “trah”. (Trah yang artinya keturunan berasal dari kata truh yang artinya hujan.

Hujan selalu menetes ke bawah sehingga trah pun dimaksudkan sebagai garis keturunan yang dihitung dari atas ke bawah (Sairin, 1991:3).

Semua dalam rangka menunjukkan dinasti yang berlindung pada identitas.
Lalu apakah karena jarak dan rentang waktu semangat 1998 yang menolak nepotisme sekarang sudah sayup-sayup tidak terdengar, atau memang sudah “ambyar” ?

Bisa jadi pada waktu peristiwa itu terjadi, mereka masih berselimut tebal dengan kenikmatan; entahlah, apakah telinga yang tuli, atau kehirukpikuan yang dibuat, sehingga nyaris tak terdengar.
Salam Waras.

* Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

 - 

Tags