bjb Kredit Kepemilikan Rumah
Helo Indonesia

Bedah Forensik Banjir di Bandarlampung

Herman Batin Mangku - Opini
Senin, 26 Februari 2024 07:10
    Bagikan  
Bedah Forensik Banjir di Bandarlampung
Helo Lampung

Muzzamil

Oleh Muzzamil*

BENCANA meteorologi banjir, fenomena alam naiknya air di suatu kawasan sehingga menutupi permukaan kawasan tersebut, yang melanda sebagian wilayah dalam kota Bandarlampung seiring luapan genangan air hujan mengguyur selama kurang lebih 4,5 jam pada Sabtu (24/2/2024) petang hingga bada Isya, disebut-sebut yang terparah kurun empat tahun terakhir.

Merujuk statistik, menukil infografis profil bencana Indonesia, dalam Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) keluaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dimana untuk Provinsi Lampung tercatat sebanyak 94 kali kejadian bencana banjir terhitung sejak tahun 1815 hingga 2024 ini.

Cegah penasaran, persis tahun yakni 1815, 1822, 1825, 1828, 1830, 1833, 1834, 1835, 1836, 1841, 1843, 1845, 1848, 1852, 1856, 1858, 1861, 1867, 1875, 1883, 1890, 1892, 1894, 1896, 1898, 1900, 1902, 1903, 1904, 1907, 1908, 1909, 1910, 1914, 1916, 1917, 1920, 1921, 1922, 1923, 1924, 1925, 1926, 1927, 1928, 1930, 1931, 1932, 1933, 1934, 1936, 1938, 1939, 1943.

Lalu, dekade 50-an terjadi tahun 1950, 1951, 1952, 1955, 1958. Dekade 60-an pada 1963 hingga 1969. Dekade 70-an pada 1972-1979. Dekade 80-an pada 1980-1989. Dekade 90-an pada 1990-1999. Dekade 2000-an pada tahun 2000-2009, dekade berikutnya tiap tahun kurun 2010-2019, dan 2020-2024.

Ambil ilustrasi statistik tertinggi kejadian banjir di Indonesia 2012-sekarang, sejumlah 593 kali pada 2012, terjadi 761 kali (2013), 611 kali (2014), 531 kali (2015), 825 kali (2016), 992 kali (2017), 884 kali (2018), 815 kali (2019), 1.531 kali (2020), 1.196 kali (2021), 598 kali (2022), dan 351 kali (2023).

DIBI BNPB mencatat, terjadi 80 kali kejadian banjir Tanah Air kurun Januari 2024 hingga saat warta ini tiba di ruang digital Anda.

Untuk Lampung, salah satu mitigasi risiko bencana alam banjir yang dilakukan BNPB melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Lampung kurun Oktober 2023, ialah melakukan pemetaan daerah rawan banjir untuk mengantisipasi terjadinya bencana ini saat peralihan musim terhitung November-Desember 2023.

Khusus Bandarlampung, terpetakan ada 11 kecamatan berisiko terancam banjir dalam tiga skala luasan genangan ancaman banjir. Yakni, risiko rendah seluas 1.875,69 hektare, risiko sedang seluas 128,58 hektare, dan risiko tinggi seluas 425,58 hektare.

Bukan bermaksud mencari kambing hitam, namun kerusakan lingkungan oleh sebab banyak faktor kejahatan lingkungan, dan praktik alih fungsi lahan dalam hal ini ruang terbuka hijau (RTH) dan daerah tangkapan air (water catchment area) yang masif dan menggila, telah sejak lama dituding sebagai biang keladi dari tak jua terselesaikannya problem pokok program penanggulangan bencana banjir di Kota Tapis Berseri ini.

Alhasil, bencana banjir, dan atau bencana banjir dan tanah longsor selalu mengintai kota 1,3 juta jiwa manusia ini. Banjir lagi dan longsor lagi ibarat makanan pokok, bukan lagi sekadar momok bagi warga kota ini setiap kali siklus peralihan musim melongok.

'Oke gas, oke gas' bak telah jadi rutinitas, dan 'tabrak tabrak masuk' otomatis buat semua warga kelimpungan kasak kusuk, banjir dan atau banjir dan tanah longsor kini secara terminologi kesiapsiagaan tanggap darurat bencana alam, telah pula mewujud menjadi sahabat warga. Bencana bukan aib, bencana telah jadi sohib.

Dan diksi pun tagar #sahabatbencana, jadi jurus ampuh pengampu kebijakan negara ini dalam upaya edukasi publik demi tercipta situasi nasional sadar bencana, sadar risiko bencana, sadar mitigasi risiko bencana, dan sadar penanggulangan bencana, sekaligus.

Tak dapat dipungkiri, pengayaan literasi kebencanaan nasional, berikut literasi kesiapsiagaan tanggap darurat bencana didalamnya, terus menerus dihunus. Meski sejurus, apa lacur, secara sarkartis pun ada yang menyebut, angka penjahat lingkungan berbuah bencana alam ini, saat ini bak adu balap dengan angka korban bencananya.

Sekadar ilustrasi, apabila kita "membunuh" satu pohon saja, pohon besar, sebut pohon dewasa yang sehat penghasil oksigen dari proses fotosintesis yang dilakukannya, maka merugilah dua hingga 10 orang di sekelilingnya. Si pohon malang itu.

Merujuk data penelitian untuk mengukur jumlah oksigen yang dihasilkan oleh satu pohon oleh US Forest Service menunjukkan bahwa satu pohon dewasa yang sehat dapat menghasilkan antara 260-600 liter oksigen setiap hari, alias setara kebutuhan oksigen harian 2-10 orang dewasa. Waw!

Kata "antara" di atas, lantaran perlu diingat bahwa jumlah oksigen yang dihasilkan oleh satu pohon tidaklah konstan. Bergantung seberapa aktif proses fotosintesisnya.

Bicara kapasitas, data menyebut bahwa saat ini area luasan ruang terbuka hijau Kota Bandarlampung hanya tersisa 1.403,7 hektare saja, setara 9,5 persen dari luas wilayah, yang masih terselamatkan. Data lain malah ada menyebut, sisa 4 persen!

Bicara kebiasaan, rakyat Bandarlampung, siapa saja yang masih suka buang sampah sembarangan? Siapa saja yang masih hobi tebang satu pohon tanam nol pohon? Siapa yang masih suka absen gotong royong rutin bersihkan got, drainase, saluran air lainnya?

Atau bahkan "nyumput" kekalau tetiba ada petugas berwenang menyapa dari luar pagar rumah sampai memekik hingga keluar urat di lehernya: "iuran sampah"?

Apakah kita masih enggan memisahkan mana sampah organik dan mana sampah anorganik dari sampah rumah tangga yang hampir setiap hari kita hasilkan? Sudah ikut, atau sering dengar apa itu bank sampah?

Apakah kita termasuk yang masih belum tergerak untuk sekadar mencoba kebiasaan baru, tradisi baru, keadaban baru (meski ini 'lama' di banyak tempat di dunia): menanam paling sedikit satu batang pohonkayu paling tidak setiap setahun sekali, misalnya?

Sisakan barang beberapa meter persegi pekarangan tetap langsung tanah dan tak di-semenisasi seluruh? Atau, mencoba teknologi resapan air biopori? Membuat daerah resapan air mandiri setempat berbasis rekayasa ruang parkir air berbasis alam untuk menampung debit air dari hulu sekaligus untuk mengurangi beban di hilir seperti kisah sukses proyek Kallang River di Singapura, atau membuat ruang limpahan air sungai berbasis rumus pengendalian air seperti praktik baik program Room For The River di Sungai Meuse dan Waal Belanda?

Hemat pakai air kapan saja, nabung air kala musim hujan, pun kurangi pemakaian wadah dan bungkus bahan plastik kurangi polutan sulit terurai yang lazim terlalap mata sesaat usai banjir surut "nemplok" dimana-mana?

Semirip Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan merangkumkan kita lima cara penanggulangan banjir. Pertama, membuat daerah resapan air lewat metode pengubah wilayah rawan banjir jadi wilayah banyak resapan air, yakni menambah resapan, melakukan penghijauan, dan reforestasi.

Caranya dengan menanam pohon/vegetasi lain yang bisa bantu menyerap air hujan dan meningkatkan kapasitas resapan tanah, membuat taman atau hutan kota dengan banyak pohon di area urban dan taman resapan dengan mengubah lahan kosong atau tak terpakai lalu diisi tanaman dan tanah permeabel, mengalakkan pembuatan biopori guna mengurangi risiko genangan.

Kedua, penanaman pohon. Gak jauh-jauh, tree, tree, and tree, pohon, pohon, dan pohon. Ini sebab, pohon berkemampuan menyerap air, mengurangi aliran permukaan yang berpotensi menyebabkan banjir, dari itu aksi nyata penanaman pohon jarang mengenal istilah lampu merah, mesti jalan terus. Pohon harus cepat ditanam di area kosong guna membuat sumber air baru.

Ketiga, pengelolaan sumber daya air, yang perlu dilakukan menyeluruh, terus-menerus, dengan mengurangi ketergantungan atas sumber daya air seperti tanggul attau pun reservoir, meningkatkan kapasitas tempat penyimpanan air, membangun bendungan atau embung untuk mengontrol debit air, menggunakan teknologi pengelolaan air yang semakin canggih mutakhir untuk meningkatkan efisiensi penyimpanan air.

Keempat, membangun tanggul pengendali banjir untuk mengontrol air, atau tanggul penangkis atau pemecah gelombang bagi zona rawan banjir atau banjir dan longsor serta pantai pesisir. Butuh waktu lama dana besar, ini tugas pemerintah. Negara hadir.

Kelima, membangun kesadaran masyarakat. Poin edukasi ini beranjak dari pemikiran jika warga cuek bebek atau barangkali tak tahu cara menjaga lingkungannya sendiri, maka segala daya upaya apa pun tiada guna dari itu diperlukanlah pembentukan kesadaran kolektif dan peningkatan literasi warga.

Misal soal hutan, hutan yang begitu luas tidak boleh lagi ditebang sebab hutan-lah penyerap air terbaik, penambangan ilegal dilarang sebab bisa bikin sungai dangkal, ikan memekik. Atau, terus tradisikan budaya malu jika membuang sampah sembarangan disertai alarm pengingat bahwa kebersihan merupakan sebagian dari iman.

Tambahan, membuang jauh-jauh pemikiran apalagi rencana membangun rumah tinggal di pinggiran atau daerah aliran sungai yang ditemukenali merupakan langganan banjir, juga tindakan "waway".

Apakah Anda masih menyimpan rapi di galeri gawai Anda, foto-foto dokumentasi detik-detik peristiwa penebangan pohon, menit-menit peristiwa pembabatan aneka tetumbuhan di kawasan perbukitan yang usai dibuldozer sepersekian jam kemudian berubah menjadi area gundul gersang dan sepersekian hari berikutnya berubah wajah jadi daerah residensi kawasan permukiman, zona eksklusif perumahan mewah, atau pun area komersial tertentu misal perhotelan?

Pembaca ingat kata "kualat"? Percayalah, sesiapa pun makhluk manusia yang culas, curang, abai bahkan kejam kepada alam, maka berlaku baginya prinsip alamiah tabur tuai suatu hari suatu saat kemudian. Di situ bakal berlaku pula "hukum panitia", bahwa menyesal selalu ada di meja belakangan, dan jika di depan adanya meja pendaftaran.

Satu hal, kaitannya kemudian kita bisa aktif membuatnya demi turut memitigasi risiko bencana banjir lebih parah kedepannya, yakni soal daerah tangkapan air (water catchment area) yang berbeda secara mendasar dengan daerah resapan air.

Terjemahan bebas, daerah tangkapan air dapat diartikan suatu tempat yang bisa 'menangkap' air melalui banyak alternatif, misal untuk air hujan yang turun ke bumi, bisa dengan membangun waduk mini penampung air, di permukaan dengan fungsi 'menangkap' air tanpa harus atau wajib meresap ke dalam tanah atau lapisan batuan sarang alias aquifer.

Bisa dengan cara intersepsi (interception) yang bisa dilakukan dedaunan pohon, yang mana ada terdapat fraksi air yang tertahan di dedaunan saat hujan turun sehingga tak semuanya turun ke tanah. Atau atap-atap bangunan berbentuk cekungan juga bisa menjadi instrumen 'menangkap' air hujan.

Atau dalam studi kasus cekungan sungai, daerah tangkapan suatu sungai misalnya, bisa sekaligus menjadi area geografis yang aliran air permukaannya akan mengalir ke sungai apabila hujan turun di area tersebut.

Lantas, sesuai nama, daerah resapan air ini suatu tempat dimana air bisa meresap di situ, yang dalam pemaknaan siklus air, bisa diilustrasikan bagaimana air menginfiltrasi masuk ke dalam lapisan tanah, selanjutnya meresap ke dalam lapisan batuan sarang (percolation).

Nah dalam skala cekungan sungai, menyitat dari artikel Machine Learning Engineer dan Web/Core Programmer di Atmatech, Moch Ari Nasichuddin [Medium, 26 Februari 2016] disebutkan, daerah resapan air atau water recharge area biasanya memang berada di kawasan hulu. Misal kawasan Jakarta sebagai contoh, daerah resapan air jauh berada di bagian selatan: Bogor, sekitarnya.

Saat ini jika kita pakai rumus "bego" misal, dimana marak penggundulan hutan atau illegal logging, maka disitu bersemayam hantu banjir dalam suatu waktu tertentu kemudian. Di media sosial pernah viral, kisah humanis pasutri kala berstatus pasangan muda berinvestasi menanam pohon di perbukitan tandus usai "digunduli" berbuah menghijau 20 tahun kemudian saat keduanya beranjak menua. Unggahannya dilengkapi foto pose 'before after' segala.

"Itu tugas pemerintah! Apa gunanya kita gaji dari uang pajak dan retribusi yang kita bayarkan?" Benar, itu tugas mereka, tugas kita juga, tugas bersama. "Capek ah, sudah terlalu berat beban menanggung hidup dan penghidupan keluarga kita pikul masih juga diberi tugas lembur mikirin solusi banjir?"

Bisa dimulai dari mencoba hal yang paling kecil dulu kan, abang ganteng? "Ah, gombal rayuanmu!" Ahaha, kita tak mau kan tetiba saja banjir kembali datang menerjang, lalu tetangga kampung sebelah yang secara kebetulan lewat setelin keras-keras musik lirik lagu lawas milik grup musik dangdut jenaka Orkes Moral (OM) Pengantar Minum Racun (PMR) yang dimotori oleh pendiri cum vokalis utamanya, Jhonny Iskandar?

"Banjir, banjir, banjir, datang lagi sayang... Akhirnya ku ngungsi ke rumah Ujang..." Nah.

Banjir bisa dicegah bisa dikendalikan. Banjir, karenanya tak melulu sekadar digebyah uyah belaka sebatas permakluman bahwa ia menjadi bagian dari cara alam semesta guna menciptakan titik baru keseimbangan.

Banjir, momennya pun secara terukur bisa dirujuk menjadi pundi rupiah seperti yang digagas tokoh muda asal Kabupaten Way Kanan, anggota DPRD Provinsi Lampung periode 2019-2024 dan berkemungkinan dari hasil sementara turut menang terpilih sehingga "terancam" terlantik kembali periode 2024-2029 produk politik Pemilu 2024 lalu, selain itu aktif berjibaku di dunia kerelawanan sosial kemanusiaan termasuk dalam kerja-kerja kesiapsiagaan mitigasi risiko dan tanggap darurat bencana selaku Ketua Forum Relawan Bencana (FRB) Provinsi Lampung 2022-2024, Deni Ribowo.

Yang terus on going process, menjajal ide kreatifnya mewujudkan destinasi wisata banjir, di lokasi salah satu daerah aliran sungai di tanah kelahirannya, satu dari dua kabupaten daerah pemilihannya bersama Kabupaten Lampung Utara tersebut.

Pembaca budiman, semoga hikmah dari peristiwa banjir 24 Februari 2024, dapat kita saripatikan setidaknya sebagai suritauladan tiga kedisiplinan: disiplin pemetaan, disiplin mitigasi risiko, dan disiplin penanggulangan.

Itu dia. Konon berlaku adagium, menyalakan lilin jauh lebih oke, tinimbang pagi sore siang malam kita mengutuki kegelapan. Jadilah bintang, pencegah banjir bagi sekeliling kita, bagi sekitar kita. So sweet. (*)

*) warga Bandarlampung, Koordinator Divisi Komunikasi dan Informasi FRB Lampung.

Tags