bjb Kredit Kepemilikan Rumah
Helo Indonesia

Boleh Sedih tapi Tetap Bersyukur

Herman Batin Mangku - Opini
Sabtu, 17 Februari 2024 20:19
    Bagikan  
Gufron Aziz Fuadi
Gufron Aziz Fuadi

Gufron Aziz Fuadi - Gufron Aziz Fuadi

Oleh Gufron Azis Fuadi

SOCRATES, seorang pemikir besar Yunani kuno, bukan penganut Wahabi atau HTI meskipun ia juga anti atau tidak setuju dengan sistem demokrasi yang waktu itu sudah berjalan dinegara kota Athena dan beberapa kota sekitarnya. Kita ketahui, demokrasi mulanya diterapkan di Yunani sejak sekitar 500 SM. Dan Socrates bentuk ketidak setujuannya ia wujudkan dalam berbagai mimbar diskusi diberbagai tempat. Sehingga akhirnya dia divonis hukuman mati yang disetujui oleh 280 juri dari 500 juri

Plato, muridnya, menggambarkan ketidak setujuannya Socrates kepada demokrasi adalah karena Socrates melihat ketidak mampuan mayoritas rakyat dalam memilih. Ini diibaratkan dengan sebuah kapal yang penumpangnya sudah hampir penuh tetapi tidak ada satupun yang bisa menjadi nahkoda. Sementara itu ada beberapa calon penumpang lagi dan salah satunya memiliki kemampuan menjadi nahkoda tetapi sayangnya tidak punya koneksi diantara para penumpang kapal tersebut. Sehingga jatah penumpang yang tersisa diberikan kepada calon penumpang yang punya koneksitas dan isi tas serta mengabaikan yang punya kapasitas.
Bisa terbayang kan bagaimana perjalanan kapal selanjutnya?

Kira kira begitulah yang dimaksudkan oleh Socrates tentang kemampuan memilih. Orang yang berpendidikan rendah dan hidup dalam kemiskinan akan sangat mudah dimanipulasi pilihannya oleh kelimpok elit yang culas.
Orang yang tujuan hidupnya terpenuhinya kebutuhan perutnya hari ini, tidak akan berpikir tentang kepemimpinan yang adil, kemajuan bangsa dan negara, keamanan, persatuan nasional, diplomasi internasional dan visi adiluhung lainnya. Mereka juga tidak berpikir siapa yang akan memimpin mereka nanti. Samsons atau Samsul, terserah. Yang penting hari ini bisa dapat makan. Besok urusan besok.

Masyarakat yang berpendidikan dan berpendapatan rendah umumnya berpikir. Mereka tidak mampu (bukan tudak mau) mengkorelasikan kesulitan hidup dengan rendahnya kualitas kepemimpinan. Mereka tidak tahu kesulitan hidup terjadi karena adanya kesalahan kebijakan. Mereka tidak tahu bahwa kesulitan hidup terjadi karena adanya keserakahan para koruptor dan oligar. Bagi mereka, beberapa suap nasi dan sedikit hiburan dan jogat joget sudah seperti hidup itu sempurna.

Karena memang pada umumnya, kebutuhan dasar hidup tersusun seperti hirarkhi dari mulai kebutuhan fisiologis, keamanan, cinta, harga diri, dan aktualisasi diri.
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan biologis, utamanya pangan, sandang, papan dan seks.

Maka bila kemarin ada yang berkampanye dengan menyasar kelompok ini, bisa dibilang cukup cerdas dalam membaca datq pendidikan dan kemiskinan serta mampu memanipulasi kebodohan dan kemiskinan. Bagi masyarakat yang mayoritas berpendidikan SD dan SMP, makan siang gratis lenih menarik dibanding pendidikan gratis. Karena pendidikan gratis sampai ke jenjang pendidikan tinggi, saat ini bukan merupakan kebutuhan pertama (fisiologis) tetapi merupakan kebutuhan aktualisasi diri. Yang merupakan jenjang kebutuhan tertinggi dalam hirarki kebutuhan Abraham Maslow. Jadi ya durung wayahe. Belum waktunya.

Waktu sekarang adalah sebagaimana Rasulullah Saw bersabda: “Akan datang suatu zaman atas manusia, perut-perut mereka menjadi tuhan-tuhan mereka. Perempuan-perempuan mereka menjadi kiblat mereka. Dinar-dinar (uang) mereka menjadi agama mereka. Dan kehormatan mereka terletak pada kekayaan mereka”.

Karenanya bagi para penggiat pemilu dan pilpres yang masih berpikir dengan akal sehat, boleh sedih tapi jangan lupa bersyukur. Bersyukur karena dijaman edan seperti gambaran hadits diatas, masih bisa bepikir waras dan istiqamah dengan nilai nilai kebenaran.

Sebagaimana diungkapkan oleh pujangga Solo, Raden Ngabehi Ronggo Warsito:
"Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya keduman melik
Kaliren wekasane
Ndilalah karsa Allah
Beja-beja ne wong kang lali
Luwih beja wong kang eling lan waspada"

Hidup di zaman edan,
gelap jiwa bingung pikiran,
turut edan hati tak tahan,
jika tidak turut batin merana, penasaran, tertindas dan kelaparan,
tapi janji Tuhan sudah pasti
seuntung apapun orang yang lupa daratan (edan),
lebih selamat orang yang menjaga kesadaran akal sehatnya.
(R.Ng. Ronggowarsito, 1802-1873)

Wallahua'lam bi shawab
(Gaf)

 - 

Tags