bjb Kredit Kepemilikan Rumah
Helo Indonesia

Omon-Omon Negarawan, Belajar dengan Natsir vs IJ. Kasimo

Herman Batin Mangku - Opini
Minggu, 21 Januari 2024 16:46
    Bagikan  
Omon-Omon Negarawan, Belajar dengan Natsir vs IJ. Kasimo

Gufron Aziz Fuadi

Oleh Gufron Aziz Fuadi*

KETIKA debat kedua capres, Prabowo Subianto memunculkan istilah "omon-omon" (bicara, ngomong) terhadap lawan debatnya, yaitu Anies Baswedan. Ada kisah nyata pada awal Kemerdekaan RI, dua politikus berdebat keras di Konstituante (DPR) RI.

Keduanya adalah Natsir, tokoh sentral Partai Islam Masyumi dan IJ. Kasimo, tokoh utama Partai Katolik Indonesia. Keduanya pernah menjadi menteri dan anggota Konstituante RI mewakili partainya dari hasil Pemilu 1955.

Mereka terlibat perdebatan sengit soal perbedaan pandangan tentang dasar negara untuk menggantikan UUD Sementara 1950 antara pendukung dasar negara Pancasila dan yang menginginkan Islam sebagai dasar negara.

Sampai akhirnya polemik tersebut dihentikan melalui Dekrit Presiden Tahun 1959.

Menariknya, meskipun M. Natsir dan IJ. Kasimo sering berdebat panas di Konstituante RI, keduanya pulang bareng berboncengan naik sepeda. Keduanya juga sering ngopi bareng. Kemudian, besok, mereka berdebat lagi di Konstituante. Begitulah negarawan.

Seorang negarawan bisa berdebat sengit di ruang debat, adu data dan adu kata-kata kemudian setelah itu berteman lagi dan berbicara normal lagi. Setelah selesai dan keluar dari ruang dan waktu, debat tidak lagi mengungkit dan ngomel /-ngomel membela diri perdebatan yang sudah lewat.

Kalau kalah debat karena tidak siap, tidak bawa data atau tidak bisa bicara secara baik karena emosi ya tinggal disadari dan diakui untuk kemudian mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk debat berikutnya. Tidak perlu memfitnah lawan debatnya apalagi menuduh bodoh, tolol apalagi ndasmu di depan pendukungnya. Cemen!

Seorang pemimpin sangat penting memiliki kemampuan berdebat atau berkata kata yang efektif dan tepat sasaran atau dalam bahasa Alquran disebut qaulan baligha (4: 63).

Qaulan Baligha maknanya adalah berbicara menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele.

Saat kaum muslimin Mekkah hijrah ke Habasyah (615 M/ 7 tahun sebelum hijrah ke Madinah) dan kemudian Quraisy Mekah mengirimkan korp diplomatik, Amr bin Ash untuk meminta agar mereka dideportasi dari Habasyah.

Kemudian tampillah Ja'far bin Abi Thalib kehadapan Raja Najasi melakukan debat diplomatik dengan Amr bin Ash dengan kata kata yang jelas, tegas, tidak emosional dan berbelit-belit sehingga efektif pada sasaran yang dituju.

Sehingga akhirnya raja Najasi memahami maksud, tujuan dan alasan kaum muslimin hijrah ke Habasyah.

Akhirnya kemampuan diplomasi Ja'far berhasil membungkam argumentasi Amr, sehingga raja Najasi akhirnya memberikan suaka kepada kaum muslimin di Habasyah.

Rasulullah Saw juga adalah debator ulung. Beliau banyak membungkam orang orang yang julid kepada Islam. Seperti para pemimpin kaum munafik dan Yahudi di Madinah.

Juga dengan rombongan Nasrani dari Najran. Ini karena beliau memiliki kemampuan berbahasa yang baik dan efektif. Mampu membaca intelektual lawan bicara, memilih diksi yang tepat, memiliki empati dan emosi yang terkendali.

Beliau juga memiliki wawasan yang luas dan berani. Sehingga pembawaannya tenang dan penuh senyum.

Oleh karena itu Rasulullah SAW. bersabda, “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas) mereka.” (H.R. Muslim).

Berbicara dengan orang yang tenang, berwawasan luas, memahami sikon lawan bicaranya, pilihan kata nya tepat, tidak emosional akan membuat orang lain lebih mudah menerima.

Oleh karena itu di jaman kerajaan, para pangeran dan bangsawan wajib belajar sastra, membaca, menulis dan berbahasa. Karena mereka adalah calon pemimpin kerajaan dan salah satu tugas penting pemimpin adalah berbicara dengan jelas, tegas dan benar.

Jadi bila kita atau anak anak kita mau jadi pemimpin, mereka harus diajarkan bagaimana omon-omon yang baik dan benar. Jangan pula karena kita tidak pandai berbicara baik dan benar, kemudian julid kepada yang pandai omon-omon.

Kata-kata bijak mengatakan: "Orang pintar, mengubah masalah besar menjadi masalah kecil dan masalah kecil menjadi seperti tidak ada sama sekali. Mengubah masalah yang rumit menjadi masalah yang sederhana dan mudah difahami".

Berbicara secara asal membuat masalah kecil malah jadi besar dan rumit.Oleh karena benarlah ketika dulu orang tua sering menasihati: "Setengah dari tampak pintar adalah menutup mulut pada waktu yang tepat." Dan " kalau bicara hanya asal bicara, burung beo pun bisa bicara."

Wallahua'lam bi shawab

*) Pengamat sosial politik dari Lampung

 - 

Tags