Adu Jangkrik Pilwakot Bandarlampung, Ado Idak?

Kamis, 1 Juni 2023 09:53
(Foto Ist.)


Oleh Sudjarwo*

DUA kata dengan tanda tanya bahasanya wong plembang itu ditulis oleh HBM dalam essaynya beberapa hari lalu, pada konteks “Perang Kota” yang sedang akan berlangsung di Kota Tapis Berseri.

Tulisan yang enak dibaca karena karya seorang jurnalis tulen; ada pesan tersirat dari yang tersurat adalah dimulainya pertarungan antara penantang dan petahana untuk jabatan Bandarlampung satu. Menjadi tampak seru karena partai pendukung keduanya adalah partai besar yang memiliki basis masa militan semua.

Persoalan siapa yang menjadi “Jangkriknya” untuk diadu, itu bahasan lain; yang justru menarik untuk dianalisis adalah bagaimana para “calon pemilih” sedang diperebutkan oleh para jangkrik yang akan bertarung.

Tentu saja sorak sorai menjadi membahana manakala dipakainya adagium plembang “ado idak”; yang makna harfiahnya “ada tidak”; maksud kata bersayab ini adalah apakah masing-masing petarung tadi memberikan sesuatu kepada calon pemilihnya.

Bahasa goyonan "wong plembang" ini dipakai manakala secara halus adakah bahagian sesuatu untuknya; pada umumnya disertai dengan “ado lokak idak”; inilah khas Sumatera Selatan yang menggunakan bahasa kias dan berbias.
“ado idak” menjadi begitu bermakna bagi mereka yang akan memilih jika dikaitkan dengan “periuk nasi”.

Sekalipun jargon antipolitik uang, pemilahan harus bersih, jangan gadaikan negeri ini, pemilih harus cerdas; dan masih banyak lagi jargon yang lebih membahana di angkasa; tidak membumi sebab pada kenyataannya kalah dengan adagium Jawa “wani piro, entuk opo” yang jika diterjemahkan bebas menjadi berani berapa, dapat apa.

Mulailah selimut tebal dipakai untuk membungkus semua agar kelihatan rapi jali; dari ketua rukun tetangga sampai asisten ahli diselimuti dengan baju “relawan”; pada akhirnya kita jadi ingat Penyanyi Musik Dangdut yang membahana menyanyikan “…aku rela…”; dan silahkan pembaca meneruskan sendiri bait lagu itu.

Sementara ada ketua rukun tetangga yang tersangkut hukum dan sedang diadili karena membela kebijakkan pimpinan tertinggi di kota ini; ditinggalkan begitu saja sendirian menghadapi nasibnya.

Untung di dunia ini masih ada “Penasehat Hukum” gratis dari kumpulan pejuang kemanusiaan.
Seperti biasa dalam konsep “ado idak” ini peran laskar “emak-emak” yang pernah ampuh dipakai oleh salah satu calon presiden beberapa waktu lalu, menjadi semacam ladang incaran bagi para calon pimpinan.

Tampaknya incumbent diuntungkan karena sama jenis kelamin, namun tidak bisa diabaikan juga penantang; karena amunisi yang disiapkan guna menjadi tandingan dalam “perang kota” menggunakan istilah HBM, sudah disiapkan secara matang; tidak menutup peluang adanya dail-dail tertentu dengan calon Lampung satu.

Semua masih terbuka untuk terjadinya kajian sosial yang masih begitu dinamis.
Penulis bukan ahli politik, apalagi komunikasi politik; jauh dari disiplin keilmuan; namun gerak sosial yang telah nampak mulai terbaca, sehingga pada akhirnya pada masing-masing daerah akan tercipta kantong-kantong pemilih, baik bagi petahana maupun penantang.

Di sini mulai permainan atau jurus “ado idak” berselancar mencari mangsa, yang juga pernah di tulis oleh HBM dengan judul “radio canting”; di markas seperti macan ngamuk, begitu di lapangan jadi macan kertas.

Warna mosaik itu sekarang mulai dibangun oleh masing-masing petarung, tidak jarang harus membayar mahal juru warta dan juru kamera dadakan, karena yang asli masih memiliki integritas pribadi, sehingga sulit diajak kompromi. Kepentingan sesaat jika perlu membuat media-pun sesaat; karena tujuannya satu yaitu sesaat yang menyesatkan.

Ado Idak, Adok Lokak, dan masih banyak lagi adagium yang muncul saat pesta akan di mulai; walaupun secara tempo masih jauh, namun langkah pasti harus disusun, papan catur harus dibentang. Bisa dibayangkan suami istripun bisa ada pada papan yang berbeda bahkan berhadapan.

Semoga kita semakin dewasa menikmati “parodi demokrasi”; tertawa saat adegan lucu, dan sedih saat adegan pilu; jangan sampai terbalik pasangan, karena suara menjadi sumbang; dan itu tidak elok kata orang tua.
Salam Ado Idak.

* Pemerhati masalah sosial dan pendidikan

Berita Terkini