Pemimpin SKS

Sabtu, 6 Mei 2023 09:36
(Foto Ist.) Prof. Sudjarwo (Foto Ist.)

Oleh Prof. Sudjarwo *


SISTEM es-ka-es (SKS) adalah sistem kredit semester yang memiliki sejarah cukup panjang. Sistem ini diterapkan perguruan tinggi agar mahasiswa memilih sendiri mata kuliah yang akan diambil dalam satu semester. Seorang mahasiswa dapat dinyatakan lulus apabila telah menyelesaikan jumlah SKS tertentu.

SKS menjadi ukuran besarnya beban studi mahasiswa, besarnya pengakuan atas keberhasilan usaha belajar mahasiswa, besarnya usaha belajar yang diperlukan mahasiswa untuk menyelesaikan suatu program, baik program semesteran maupun program lengkap, serta besarnya usaha penyelenggaraan pendidikan bagi tenaga pengajar.

Namun, seiring perkembangan zaman dan tuntutan, serta siapa yang sedang berkuasa, maka saat ini makna SKS (terutama di perguruan tinggi) tanpa disadari bergeser secara mendasar sebagai “jam kegiatan”, bukan “jam belajar”.

Definisi “kegiatan”: belajar di kelas, praktik kerja (magang), pertukaran pelajar, proyek di desa, wirausaha, riset, studi independen, dan kegiatan mengajar di daerah terpencil. Semua jenis kegiatan terpilih harus dibimbing seorang dosen (dosen ditentukan oleh perguruan tingginya atau PT).

Daftar “kegiatan” yang dapat diambil oleh mahasiswa (dalam 3 semester di atas) dapat dipilih berdasarkan (a) program yang ditentukan pemerintah dan (b) program yang disetujui oleh rektor.

Namun, pada dasarnya, belajar itu amat sangat tergantung kepada yang sedang belajar. Karena, kenyataan di lapangannya, sistem SKS masih menyisakan kebiasaan pada yang sedang belajar diplesetkan menjadi "Sistem Kebut Semalam”.

Mereka yang sedang belajar akan mati-matian belajar pada saat satu malam sebelum ujian dilaksanakan.

Artinya, sejak bangku sekolah/kuliahnya, mereka sudah terbiasa menjadi “Bandung Bondowoso” demi memenuhi permintaan putri cantik bernama “Roro Jonggrang” membuat seribu candi dalam satu malam.

Karena akal bulus sang putri candinya kurang satu, maka dengan kemarahannya Bandung Bondowoso mengutuk putri menjadi candi nomor seribunya dan dikenallah dengan nama Candi Roro Jonggrang itu.

Dampak lanjut dengan cara kerja seperti ini, maka tidak salah jika kelak mereka menjadi pemimpin, bisa kerja satu malam selesai, apapun pekerjaannya; karena memang sudah dididik oleh sistem pendidikannya dengan “Sistem Kebut Semalam”.

Terlepas siapa yang menjadi juru tekan pemimpinnya yang berperan sebagai Roro Jonggrang. Tidaklah tepat jika ada perilaku yang muncul model SKS ditimpakan hanya kepada seseorang atau sekelompok orang; namun harus secara adil melihat esensi mengapa yang bersangkutan berperilaku seperti itu.

Bisa jadi perilaku seperti itu muncul karena “panik” sehingga tidak melihat lagi dampak; yang penting selesai saat itu. Orang mau ngomel, mau ngoceh, mau mencibir sudah tidak peduli, yang ada di kepala hanya “yang penting selesai”. Langkah selanjutnya, mencari pembenaran atau dengan jurus “mata membuta telinga menuli muka tembok”. Selesai sudah semua urusan, tinggal tidur nyenyak atau main golf.

Hebatnya, jurus sistem kebut semalam ini tidak dilakukan oleh mereka yang tidak sekolah, karena mereka tidak “makan sekolahan”. Pelakunya adalah mereka yang bertitel keren, tidak kaleng-kaleng, dan saking matangnya belajar dengan pola kebut semalam, maka menjadi semacam hal lumrah, tanpa dosa, melakukan apa saja; yang penting tujuan tercapai, dengan cara kebut semalam.

Pembelajaran apa yang dapat kita ambil dari Sistem Kebut Semalam:
PERTAMA, kita tidak boleh antikritik dan mau mendengar apa yang dikatakan orang lain tentang kita, terutama yang berkaitan dengan kelemahan kita.

Orang yang beruntung itu adalah orang yang mau mendengar kata orang kepada kita, sekalipun mungkin tidak benar semua, tetapi paling tidak kita memahami bahwa tidak semua yang kita maksudkan orang lain paham maksud kita.

KEDUA, tidak sungkan-sungkan mengajak mitra kerja guna menemukenali masalah, kemudian mempetakan masalah, kemudian selanjutnya menyusun skala prioritas penyelesaian masalah.

Cara ini bukan berarti paling jitu;namun setidaknya kita dapat menyelesaian persoalan dengan sistematis, professional, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kata kuncinya adalah “pengenalan wilayah”; jangan sampai seorang pimpinan daerah tidak mengetahui nama daerah wilayahnya; karena jika ini yang terjadi maka tidak lebih ini adalah “pimpinan ketoprak” bukan pimpinan daerah.

Sistem kebut semalam memang ada pada cerita kesenian ketoprak; namun bisa saja karena sesuatu dan lain hal, terpaksa cerita ketoprak dijadikan kenyataan. Hanya saja apakah itu bukan suatu aib yang memperjelas “kebodohan” kita, seolah kita sudah kehabisan akal.

Mari semua peristiwa di dunia ini kita jadikan bahan untuk melakukan “mawas diri”; apakah kita sudah menjalankan amanah yang dibebankan kepada kita, siapapun kita. Karena setiap kita memiliki peran dan fungsi masing-masing sesuai dengan lakon yang sedang kita jalani.

Selamat terus berkarya tanpa sistem kebut semalam, tapi kontinuitas dan berkelanjutan agar tak ada senggol bacok dan mangkrak-mangkrakan jadi seperti Bandung Bondowoso, tabiik puuun.

* Guru besar di Pascasarjana GKIP-Unila

Berita Terkini