bjb Kredit Kepemilikan Rumah
Helo Indonesia

Kenaikan Pangkat Guru, Makanan Empuk Mafia Tanpa Tersentuh

Nabila Putri - Lain-lain
Kamis, 8 Juni 2023 18:58
    Bagikan  
Gino Vanollie

Gino Vanollie -

Oleh Gino Vanollie*

MEMBACA opini Prof. Sujarwo berjudul "Integritas Akademik", saya langsung teringat ketika bertemu dengan seorang guru wanita setengah baya sealmamater yang gundah gulana mengurus kenaikan pangkat walau syarat dan ketentuannya sudah dipenuhi semua.

Padahal, berdasarkan Peraturan Bersama Mendiknas dan Kepala Badan Kepegawaian Negara No.03/V/PB/2010, No.14/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, kenaikan pangkat merupakan pemberian kepada PNS atas prestasi kerja serta pengabdianya terhadap negara.

Dengan demikian, sudah menjadi keharusan para pihak yang terkait memiliki keberpihakan dan sudi memberikan kemudahan bagi para guru untuk mendapatkan haknya tanpa hambatan. Namun kenyataan di lapangan justru berbeda, yang seharusnya mudah justru dibuat sulit.

Dari obrolan yang semula santai, kami akhirnya bertukar pikiran serius di pojok ruangan. Dia merasa tepat menumpahkan kegalauan hati yang sudah lama terpendam dengan harapan dapat ditulis agar dapat menjadi pembahasan para pemangku kepentingan.

Singkat kata, Sang Ibu Guru bercerita mewakili suara hati teman teman seprofesinya tentang betapa sulitnya mengurus kenaikan pangkat/golongan. Selain persyaratan administrasi yang sangat memberatkan, ada syarat pengembangan diri dan Penelitian Tindakan Kelas (PTK).

Bahkan, para guru juga diwajibkan menulis di jurnal ilmiah yang berlogo ISSN khusus bagi guru/pengawas sekolah yang ingin naik pangkat dari IVb ke IVc dan seterusnya. Dari ekspresinya, dia terlihat pesimis bisa mencapai pangkat tertinggi, meskipun sesuai aturan itu dimungkinkan.

Golongan/pangkat tertinggi guru adalah IV/Guru Utama. Hanya segelintir guru yang bisa mencapai pangkat sebagai guru utama, sisanya tercecer di golongan yang lebih rendah.

Sesuai regulasi, kenaikan pangkat guru menggunakan sistem Penilaian Angka Kredit (PAK) dan pada jenjang pangkat tertentu ada persyaratan Penelitian Tindakan Kelas (PTK).

Semakin tinggi kenaikan pangkat yang diusulkan, jumlah kredit point' dari PTK juga makin besar. Dengan begitu jumlah PTK yang harus dibuat guru juga makin banyak. Bahkan untuk guru dengan golongan IVb ke atas, selain PTK juga harus menulis di jurnal ilmiah yang sudah ISSN.

Sebagai contoh, guru yang memiliki golongan IIIb akan naik golongan ke IIIc diharuskan membuat PTK dengan kredit point' 4. Ini bisa dipenuhi dengan minimal 2 PTK tanpa diseminarkan atau cukup 1 PTK yang diseminarkan.

Dari golongan IIIc ke IIId diharuskan membuat PTK dengan kredit point' 6, bisa terpenuhi minimal dengan 3 PTK.

Persyaratan ini makin berat dan makin sulit dipenuhi guru, karena pada kenaikan dari golongan IVa ke IVb kredit point' PTK menjadi 12, bisa terpenuhi minimal dengan 4 PTK dan 2 diantaranya harus di seminarkan, plus ada tambahan menulis di jurnal ilmiah yang berlogo ISSN minimal 2 judul.

Untuk kenaikan pangkat dari IVb ke IVc, IVd, dan sampai pada golongan IVe/guru utama, tentu sudah terbayang betapa susah dan beratnya. Nyaris mustahil bisa dicapai oleh guru guru kita, ditengah beragam persoalan yang membelenggu guru.

Adanya syarat PTK terlebih jurnal ilmiah, sungguh menjadi hambatan dan problem besar bagi sebagian besar guru-guru kita untuk bisa menikmati kenaikan pangkat lebih tinggi.

Kenapa guru guru kita kesulitan memenuhi syarat dimaksud. Tentu bukan karena faktor tunggal:

Pertama, sebagian besar guru-guru kita tidak terbiasa membuat karya ilmiah berdasarkan hasil penelitian, karena guru lebih banyak berkutat didalam kelas, plus beban administrasi guru yang juga bertumpuk.

Kedua, guru berbeda dengan dosen yang memang punya kewajiban untuk secara rutin melakukan penelitian, walau kenyataanya tidak semua dosen bisa melakukanya.

Ketiga, guru sangat jarang mendapatkan pelatihan, diklat atau kegiatan sejenis terkait peningkatan kemampuan untuk melakukan penelitian.

Keempat, tidak ada ketentuan yang jelas dan pasti bagaimana penilaian dilakukan terhadap PTK yang ada. Kelima, tim penilai PTK juga tidak jelas integritas, kredibilitas dan kompetensinya. Siapa yang ditunjuk, bagaimana mekanisme penunjukannya, tidak jelas dan tertutup.

Akibatnya dari semua ini, sebagian besar karya tulis (PTK) yang dibuat guru, dianggap dan dinilai tidak memenuhi syarat alias tidak layak. PTK yang dibuat guru dengan susah payah, umumnya selalu salah dan disalahkan.

Mencoba diperbaiki sana sini, masih juga salah lagi. Kejadian berulang ini membuat guru trauma dan frustasi. Anehnya, guru tidak pernah mendapatkan penjelasan yang konkrit tentang kesalahan atau kekurangan atas karya PTK-nya.

Sejalan dengan cerita ini, ada kejadian aneh dan menggelikan. Seorang guru biologi dari sekolah tertentu menulis PTK terkait Model Pengembangan Pembelajaran Sosiodrama. Satu model pembelajaran kekinian yang sedang populer.

Saat karya tersebut dipaparkan dihadapan tim penilai PTK, karya tersebut disalahkan, tidak dapat diterima karena sesuai Model Sosiodrama hanya ada di pembelajaran Sasra, menurut Tim Penilai.

Setelah ditelisik, ternyata anggota tim penilai yang menyalahkan karya PTK ini berlatar belakang guru SD, sementara guru yang dinilai karya PTK-nya adalah guru SMA. Tim penilai yang tidak faham model pengembangan pembelajaran, tapi guru yang disalahkan dan jadi korban. Memprihatinkan pakai banget.

Berkaca pada kasus di atas, nampaknya integritas, kredibilitas dan kompetensi tim penilai yang ditunjuk oleh Dinas Pendidikan, justru menjadi persoalan tersendiri.

Seharusnya, para pihak terkait yang punya kewenangan mengurus kenaikan pangkat guru ini berupaya seoptimal mungkin memberikan fasilitasi agar guru bisa keluar dari hambatan dan kesulitan yang ada, bukan malah mempersulit keadaan.

Kita patut curiga, kondisi yang menyulitkan ini oleh oknum tertentu justru dijadikan peluang, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

Ada kesengajaan untuk dibuat sulit dan serba salah, sehingga pada akhirnya para guru yang sedang mengurus kenaikan pangkat terjebak, masuk perangkap, pada jalur abnormal yang sudah disiapkan oleh oknum tertentu.

MAFIA

Jalur abnormal kenaikan pangkat guru yang disinyalir bekerja secara terstruktur, sistemik, dan masif (TSM) ini pantas kalau diberi label "Mafia Kenaikan Pangkat Guru".

Jejaring Mafia Kenaikan Pangkat Guru ini menyebar luar dan menggurita, tersebar di hampir semua sekolah (terutama sekolah negeri).

Ada oknum guru yang bertindak sebagai informan, ada oknum yang berperan sebagai penghubung alias calo, beberapa oknum dosen membentuk koalisi bertugas membuat PTK, Jurnal dan sekaligus sebagai tim penilai, tersambung secara kolutif dengan oknum di dinas pendidikan yang punya tugas dan kewenangan untuk mengurus kenaikan pangkat guru. Klop, modus kejahatan yang sempurna.

Dalam prakteknya, tentu tidak ada makan siang gratis. Guru yang ingin naik pangkat melalui peran mafia ini harus mengeluarkan dana bernilai jutaan rupiah, sesuai pangkat/golongan yang diusulkan. Makin tinggi golongan, makin mahal maharnya.

Ditangan Mafia Kenaikan Pangkat Guru, semuanya jadi mudah, dijamin lancar jaya. PTK, dan juga jurnal yang selama ini menjadi momok dan ganjalan berat bagi guru, tidak lagi menjadi soal, sudah ada tim khusus yang membereskanya.

Guru tinggal mengikuti arahan mafia, apa yang harus dilakukan. Semuanya sudah diatur, selanjutnya tinggal duduk manis, beres semua urusan.

Oleh karena urusan kenaikan pangkat guru ini merupakan sesuatu yang given, secara periodik terus terjadi dalam kurun waktu tertentu, nampaknya telah dihitung dan dikalkulasi secara cermat oleh Mafia Kenaikan Pangkat Guru.

Ini adalah ladang empuk dan menjanjikan karena bernilai miliaran rupiah per tahun. Kita coba hitung secara sederhana. Jika guru PNS berbagai tingkatan sekolah di Provinsi Lampung berjumlah 50.000 orang, ada 25% diantaranya mengurus kenaikan pangkat.

Berarti, ada 12.500 guru yang menjadi target sasaran. Jika rata-rata satu orang guru minimal mengeluarkan dana Rp4 juta, ada peluang mafia mengeruk pasar ini Rp40 miliar. Bahkan informasi nilainya bisa puluhan juta rupiah untuk kenaikan pangkat dari golongan IVb ke IVc melalui mafia.

Ini angka minimal dalam setahun. Angka yang luar biasa besar. Padahal praktek seperti ini sudah berlangsung dari beberapa tahun lalu. Lebih mengagetkan, oknum yang terlibat dalam Mafia Kenaikan Pangkat Guru ini adalah orang-orang yang sangat dekat bahkan sebagian besar teman seprofesi, bahkan temen satu sekolah.

Betapa teganya mereka melakukannya. Guru yang semestinya dibantu justru dijadikan objek perahan, sasaran empuk untuk mengeruk rupiah. Semua ini terjadi karena minimnya integritas, moralitas dan sifat koruptif dari oknum oknum yang terlibat pada jaringan Mafia Kenaikan Pangkat Guru.

Melihat realitas ini, sikap guru beragam. Ada yang cenderung permisif (memaklumi), menerima keadaan karena menganggap hal lumrah, bahkan justru menikmati. Melalui jasa mafia, guru tidak perlu repot repot, hanya dengan mengeluarkan sejumlah uang, kenaikan pangkat lancar jaya, kelompok guru ini yang jadi sasaran utama para Mafia.

Sebagian guru mencoba idialis, mencoba dan terus mencoba mengurus kenaikan pangkat guru dengan cara normal sesuai prosedur yang ada. PTK dibuat sendiri, bersusah payah bolak balik ke dinas pendidikan di sela sela waktu mengajar, walaupun pada akhirnya gagal, nyerah dan mungkin frustasi.

Ada yang berhasil dengan cara sesuai prosedur, tapi jumlahnya sangat kecil, dan terjadi pada golongan yang masih rendah IIIa ke IIIb.

Sebagian guru yang lain utamanya yang sudah senior, sedari awal sudah mengambil sikap masa bodoh, kenaikan pangkat tidak diurus, mangkrak hingga puluhan tahun gak naik naik, bahkan sampai pensiun sekalipun.

Tentu kondisi ini sangat memprihatinkan. Akibatnya bisa kita lihat, banyak guru tidak bisa menimati penghargaan berupa kenaikan pangkat yang menjadi hak dan seharusnya didapatkan.

Kalau kita lihat di data statistik kepangkatan guru, sebagian besar golongan/pangkat guru kita menthok dan berakhir di golongan/pangkat (IVa/pembina), hingga sang guru pensiun.

Atas kondisi problematik akut ini, nampak tidak ada yang mau peduli. Guru-guru kita harus merasakan, menghadapi, berjuang, dan mencari solusi sendiri atas segala persoalan yang ada.

Organisasi profesi guru yang seharusnya menjadi yang terdepan untuk membantu, melindungi dan mengadvokasi guru, justru diam seribu basa.

Kepala Daerah tidak menunjukkan konsen dan keberpihakanya. Dinas Pendidikan tempat bernaung para guru juga setali tiga uang, bahkan disinyalir justru ikut terlibat didalamnya. Aparat penegak hukum bisa jadi belum tau atau memang tidak mau tau atas praktek culas ini.

Berharap pada perguruan tinggi dimana para guru ini berasal, rasanya lebih gak mungkin lagi, karena sebagian oknum dosennya diduga terlibat dalam Mafia ini.

Lantas langkah apa yang dapat kita lakukan agar praktek culas dan korup ini berhenti, dan guru tidak menjadi korban para Mafia lagi.

Ada beberapa langkah strategis dan terobosan baru yang dapat ditawarkan. Pertama, guru yang menjadi korban dan berpotensi menjadi korban oleh praktek culas ini jangan lagi diam, guru harus berani membuka persoalan ini ke publik, biar masyarakat tau, dan para Mafia Kenaikan Pangkat Guru sadar dan tobat, dan berhenti beroperasi.

Kabarkan praktek culas dan korup ini melalui berbagai platform media yang ada agar para pihak dan stakeholder terkait utamanya aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan dan juga KPK) menjadi tau dan segera bertindak.

Kedua, guru harus punya integritas dan karakter kuat untuk melakukan perlawanan terhadap praktek-praktek kotor yang merugikan guru.

Ketiga, pemerintah sesegera mungkin memberlakukan sistem kenaikan pangkat guru yang lebih mudah, sederhana dan berpihak pada guru, sehingga semua guru punya kesempatan yang sama untuk menikmati kenaikan pangkat sebagai bentuk penghargaan atas kinerja dan pengabdiannya.

Jangan justru membuat aturan yang sudah sulit, ditambah dengan aturan baru yang lebih memberatkan lagi.

Kemdikbudristek kiranya bisa segera menerapkan sistem kenaikan pangkat otomatis berbasis digital melalui pengembangan Sistem Penilaian Kinerja Guru Terpadu (SPKGT).

Melalui sistem ini, rekam jejak guru bisa terdata dengan baik, yang pada akhirnya bisa dijadikan dasar untuk memberikan kenaikan pangkat bagi guru.

Era digital seharusnya dapat memberikan kemudahan dalam pengelolaan, pembinaan dan pengembangan karier guru secara akurat dan berkeadilan.

Dengan menerapkan sistem kenaikan pangkat otomatis berbasis digital, diharapkan guru-guru kita akan terselamatkan, terhindar dari permainan culas dan korup mafia kenaikan pangkat guru.

Tanpa adanya terobosan baru yang progresif, solutif, dan berpihak pada guru, maka guru-guru kita yang secara kualitas sangat beragam dan dalam jumlah yang begitu besar, akan menjadi sasaran empuk para mafia, bukan saja terkait kenaikan pangkat tapi juga pada persoalan persoalan lain yang berkaitan dengan guru, tanpa tersentuh hukum.

* Pengamat pendidikan