bjb Kredit Kepemilikan Rumah
Helo Indonesia

Saatnya Menepi, Setiap Orang Ada Waktunya, Setiap Waktu Ada Orangnya

Nabila Putri - Lain-lain
Senin, 29 Mei 2023 08:04
    Bagikan  
Prof. Sudjarwo

Prof. Sudjarwo - (Foto Ist.)


Oleh Sudjarwo*

PADA saat mengendarai kendaraan di Kota Bandarlampung, sirine sepeda motor besar petugas mengaung-ngaung agar saya dan para pengendara lainnya menepi untuk memberikan jalan mobil dinas petinggi provinsi ini bertugas mengurus negara dan rakyatnya.

Perintah menepi itu agak sedikit arogan, namun apa hendak dikata rakyat jelata yang juga mungkin tengah mengejar waktu harus paham bagaimana sibuknya pemimpin. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menepi bermakna memberikan kesempatan kepada kawannya untuk maju ke depan.

Kata menepi sendiri memiliki 52 kata padanan yang jika dibagi dua dalam makna substansial, yaitu makna kongkrit dan makna abstrak. Makna kongkrit sangat mudah ukurannya karena tampak oleh pancaindra sementara yang abstrak sangat sulit karena melibatkan rasa.

Dengan kata lain yang pertama lebih kepada substantif matematik-statistik sementara yang kedua lebih kepada bahasa, yaitu bahasa rasa. Kedua hal tersebut sekarang banyak sekali berkelindan dalam penggunaannya di tengah masyarakat.

Sebagai contoh banyak kita jumpai di tengah masyarakat, jika urusannya tanggungjawab atau pekerjaan, maka kata menepi guna mempersilahkan generasi penerus sebagai pengganti mendapatkan prioritas. Namun manakala berhubungan dengan periuk-nasi banyak diantara kita lupa pada kata menepi.

Semua kita memiliki garis hidup masing-masing, dan ada "rest area" tempat kita menepi berinstirahat untuk menyiapkan tenaga melanjutkan kembali perjalanan hidup sampai pada akhirnya berhenti bersamaan panggilan Tuhan untuk kembali.

Sebagai tamsil dalam beberapa episode kehidupan orang terdahulu sebagai bahan kajian.

Ada yang mereka betul-betul selalu bersiap dalam menghadapi tikungan perjalanan hidup; namun tidak jarang yang mengalami gagap melangkah, karena persiapan yang hanya seadanya untuk menghadapi semua; termasuk pada waktunya harus menepi.

Ada yang begitu takutnya akan kehidupan, seolah tidak percaya pada Tuhan, dengan cara menumpuk harta tidak peduli caranya. Ada yang biasa biasa saja, termasuk salah satu mantan wakil presiden dan pernah menjabat panglima, sampai usia tuapun rumahnya baru selesai dari cicilan kredit.

Ternyata konsep “menepi” membuat kemunculan dua perilaku manusia pada umumnya. Pertama: mereka yang merasa tidak siap untuk menepi, sehingga menghimpun harta agar tidak sesangsara di hari tua. Model yang seperti ini adanya hanya kecemasan dalam kehidupan.

Kedua,cmereka yang merasa semua ada yang mengatur dan memiliki, oleh karena itu tidak perlu risau dalam menjalani semua. Menepi dalam konsep model kedua ini adalah sunattullah artinya sesuatu yang harus terjadi; oleh karena itu tidak perlu disesali tetapi dijalani.

Baik dalam konsep riel maupun abstrak manusia pada waktunya harus menepi, siapapun kita; sebab semua ciptaan Tuhan itu diberi awal dan juga diberi akhir, karena Tuhan ingin menunjukkan kekuasaan atas ciptaan-Nya bahwa hanya Tuhan yang tak berawal dan takberakhir.

Oleh karena itu orang bijak mengatakan “manakala kita ada di tepi, bersiaplah akan ketengah pada waktunya; demikian juga manakala kita ada di tengah, bersiaplah kita akan ketepi jika waktunya tiba, hanya sabar dan tawakal itulah modalnya”. Dari sinilah adanya konsep orang bijak yang berpesan “setiap orang ada waktunya, setiap waktu ada orangnya”; hanya hak upaya yang ada pada kita, sementara hak kepastian hanya milik Tuhan semesta alam.

Jika kita memahami konsep di atas; maka kita tidak perlu berkelahi untuk membela setengah mati calon yang akan kita usung, jika Tuhan berkehendak terlalu lama membalik telapak tangan. Pengalaman seorang redaktur senior di daerah ini, manakala gubernur ingin menjadi beliau dibuat setengah mati. Setelah yang bersangkutan sudah menjadi; redakturpun dicueki.

Sebelum menjadi rektor sang calon berkunjung setiap hari; manakala sudah menjadi, disapapun ditinggal pergi. Tetapi sang redaktur percaya diri karena hanya Tuhan pemilik semua ini; begitu sunami sosial melanda, sang redaktur hanya mengurut dada seraya berguman,”Inilah kalau sudah Yang Maha Berkehendak menghendaki”.

Semoga kita mampu menangkap tanda-tanda dalam bentuk “sasmita” karena hanya orang yang “waskita” mampu membaca kitab yang tak bertulis.

* Pengamat sosial dua hari jelang purna bakti guru besar di Unila.