Indonesia Belum Mampu Mempercepat Transisi Energi Hijau

Selasa, 11 Juni 2024 12:51
Bappenas menandatangani MoU dengan Pertamina sekaitan dengan pembangunan berkelanjutan di bidang energi. Aris Mohpian Pumuka

JAKARTA, HELOINDONESIA.COM - Percepatan transisi energi hijau memerlukan anggaran yang cukup besar. Untuk saat ini, pemerintah belum memprioritas rencana tersebut. Hal penting yang dapat dilakukan, adalah mensinkronisasi bagaimana upaya menurunkan emisi gas rumah kaca sekaligus mampu memenuhi kebutuhan energi di Indonesia.

Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa, kita sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan energi dengan cara biasa-biasa saja (bussines as usual).

“Diperlukan terobosan-terobosan baru,” kata Suharso kepada wartawan saat penandatanganan MoU  (Memorandung of Understanding ) dan PKS (Perjanjian Kerja Sama) dengan Pertamina di kantor Bappenas di Jakarta, pada 10/06/2024).

Ia menjelaskan, tujuan penandatanganan ini sebagai upaya menjalin kerja sama dalam hal pembangunan berkelanjutan, kedaulatan energi, dan mempercepat hilirisasi migas.

Baca juga: Kajati Banten Melatik dan Mengambil Sumpah Jabatan Eselon II dan III pada Kejaksaan Tinggi Banten

Dia katakana, penerapan energi hijau di masa depan akan mendapat tantangan kenaikan kebutuhan energi empat hingga lima kali lipat skala dunia, pada 2050. Padahal, pada 2045 rakyat tengah menyongsong Indonesia emas.

Menghadapi hal tersebut, katanya,  diperlukan hilirisasi Migas (minyak dan gas) agar menghasilkan nilai tambah. Tidak hanya Migas sebagai bahan baku, tapi ke depan  CPO (crude palm oil)  sebagai bahan bahan baku ketiga  untuk menghasilkan produk petrokimia sebagai upaya hilirisasi.

“Indonesia selama ini baru memperlakukan CPO sebagai bionabati. Nanti, CPO sebagai chemical basis juga,” kata mantan Ketua Umum PPP (Partai Persatuan Pembangunan).

Di bagian lain, Suharso berharap Pertamina bisa mengakuisisi Migas di luar negeri, selain mengeksplorasi dan mengeksploitasi tambang-tambang minyak yang ada di Tanah Air. Ia juga mengusulkan, Industri petrokimia yang didirikan, berada dalam satu kesatuan atau kompleks dengan kilang-kilang Pertamina. Jadi, ada kompleks tempat di mana kilang-kilang minyakndan industri petrokimia berada.

Baca juga: Jadon Sancho Dijual Man United, BVB Dortmund Sanggup Beli ?

Kendala Investasi

Gayung bersambut. Direktur Pertamina Nicke Widyawati setuju dengan keinginan Suharso agar dibuat kompleks untuk kilang dan pabrik petrokimia di tempat yang sama.

Kilang Tuban, katanya, adalah proyek kilang minyak dan industri petrokimia. Seperti diketahui kilang Tubang merupakan proyek kerjasama Indonesia dengan perusahaan minyak asal Rusia, Rosneff, senilai US$ 21 miliar atau sekitar Rp 315 triliun.

“Hingga kini proyek kilang Tuban masih terkendala belum adanya payung hukum,” kata Nicke. DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) hingga kini memang belum menyelesaikan revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Migas.

Satu lagi yang akan beroperasi pertengahan tahun ini, katanya, adalah kilang minyak Balikpapan. Proyek Refinery Developmen Master Plan (RDMP) itu akan meningkatkan  produksi dari 260 ribu barel per hari (bph) menjadi 360 ribu bph.

Baca juga: Rapat dengan Komisi II DPR RI, Mendagri Jelaskan Realisasi Anggaran Kemendagri 2023 di Atas Rerata Nasional

“Kilang Balikpapan akan menjadi yang terbesar di Indonesia. Direncanakan pada 2025 proyek peningkatan pembangunannya akan rampung,” ujarnya. Setelah selesai, kilang tersebut akan memproduksi 319 ribu BBM (bahan bakar minyak) per hari, produk LPG (Liquefied Petroleum Gas) dan produk petrokimi jenis propyliene, yang merupakan bahan baku plastik.

 

Berita Terkini