Helo Indonesia

Akademisi Lampung Ikut Teriak: Ada Upaya Belokan Reformasi ke Otoritarian

Herman Batin Mangku - Nasional -> Politik
Rabu, 7 Februari 2024 18:16
    Bagikan  
SUARA

SUARA - Para akademisi sejumlah universitas menyatakan keprihatinan demokrasi saat ini (Foto Ist)

LAMPUNG, HELOLAMPUNG.COM -- Sekitar 41 akademisi Lampung akhirnya ikut "berteriak" setelah bermunculannya aksi dosen senior berbagai perguruan tinggi tanah air yang resah pada kondisi demokrasi Indonesia saat ini dan tudingan dari Istana dan para menteri bahwa gerakan mereka partisan. 

Mereka yang bergabung dalam aksi ini antara lain Unila, Universitas Bandar Lampung (UBL), Universitas Tulangbawang, Universitas Saburai, Universitas Malahayati, Universitas Muhammadiyah Metro, dan Universitas Mitra Indonesia (Umigrasi)

"Masih belum kering darah Rizal, saya menangis, jenazahnya di depan saya, menetes sebelum dikubur. Lalu sekarang sudah dibelokan lagi perjuangan itu, saya tidak rela," ujar Guru Besar Ilmu Politik Universitas Lampung, Prof. Ari Darmastuti.

Rizal adalah aktivis FISIP Unila yang tertembak ketika aksi reformasi tahun 1998. Prof. Ari mengatakan hal itu saat para akademisi menyatakan sikap atas ketidakadilan demokrasi di Student Corner Fakultas Hukum Unila (FH) Unila, Rabu (7/2/2024).

Dia mengatakan ada upaya untuk mengembalikan sistem otoritarianisme di Indonesia. "Kita tidak bisa dibiarkan, perjuangan teman-teman aktivis 1998 sejarah yang harus dirawat," tandasnya disambut tepuk tangan para mahasiswa.

Terkait tudingan Istana dan para menteri kepada para akademisi adalah partisan, dia membenarkan. "Betul, kami partisan, tuan kami rakyat Indonesia, partisan untuk kepentingan rakyat," tandasnya.

Para akademisi berkorban pada rakyat Indonesia, bukan kepada partai politik apalagi sekelompok kecil orang, tambahnya yang siap aksi sendirian jika tak ada akademisi yang berdiri satu barisan dengannya.

Menurut Prof. Ari, jangan anggap sebagai gangguan (noise), enteng, suara akademisi. "Suara kita ini jangan dianggap noise tapi ini adalah voice, suara rakyat adalah suara Tuhan," katanya.

Dijelaskannya, aksinya bukan untuk gagah-gagahan atau sekedar ikut-ikutan, tapi murni keresahan kaum akademisi atas kondisi yang hari ini terjadi di Indonesia.

Dia merasa heran negara sebesar Indonesia bisa menganggap bahwa akademisi tidak mengerti bahkan disebut partisan partai politik. "Kalau kami (akademisi) tidak boleh berbicara terus ngapain dipelihara oleh negara ini," tandasnya.

Kata Prof Ari, selama Era Reformasi 1998, pihaknya tidak pernah melihat ada upaya-upaya hukum yang merusak sendi-sendi bernegara.

Namun, putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 sinyal pertama tanda-tanda demokrasi dirusak, keputusan diambil melalui proses-proses yang sangat tidak wajar,.

Dia tak habis pikir bagaimana mungkin seorang paman dari cawapres dan iipar presiden membuat aturan seperi itu, sangat tidak pantas. Hal itu bukti presiden tidak beretika, katanya.

Sinyal kedua rusaknya demokrasi, DKPP memutuskan anggota KPU RI telah melakukan pelanggaran etika dengan menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka tanpa merevisi undang-undang yang merupakan konsekuensi dari keputusan MK.

Dia menegaskan, penyataan sikap para akademisi di Lampung ini merupakan bagian dari suara rakyat, dan tidak ada kepentingan lain. "Silakan sikap kami hari ini dinilai sebagai noise atau apa pun, tapi ini adalah voice dari rakyat," pungkasnya. (HBM)