HELOINDONESIA.COM - Perang Diponegoro Anda pasti sudah mendengarnya. Perang Diponegoro atau disebut Perang Jawa terjadi tahun 1825-1830.
Menurut catatan sejah Perang Diponegoro merupakan perang dengan korban yang sangat banyak.
Konon dalam perang itu menewaskan ratusan ribuan masyarakat Jawa dan puluhan ribi dari kalangan penjajah Belanda.
Perang Diponegoro sendiri dipimpin Pangeran Diponegoro putra Sultan Hamengkubowono ke-3 dari Mataram yang lahir pada tahun 1785.
Baca juga: Kunjungi TMMD di Desa Purwogondo, Kasdam IV/Diponegoro Apresiasi Gotong Royong TNI dan Warga
Pangeran Diponegoro merupakan sosok pribadi yang riligius, cerdas, kritis dan ahli hukum Islam-Jawa, yang tertarik mendalami keagamaan dari pada masalah pemerintahan di kraton.
Perang Diponegoro yang dipimpin Pangeran Diponegoro sendiri dilatarbelakangi masalah kebijakan tanah Belanda yang merugikan bangsawan dan rakyat Jawa.
Beban pajak yang berlebihan bagi rakyat dan penghinaan terhadap makam leluhurnya oleh penjajah Belanda.
Perang yang berlangsung selama 5 tahun ini, membuat penjajah Belanda harus menanggung kerugian yang sangat besar.
Baca juga: Pekalongan Gelar Pekan Batik Nasional 2023 di Lapangan Mataram
Panggeran Diponegoro melakukan perang gerilya dengan cara pengelabuhan, serangan kilat dan pengepungan tak terlihat, membuat Belanda tak berdaya.
AKibat Perang Diponegoro ini, kerugian materi, dari pihak Belanda mencapai 20 juta gulden.
Sementara korban tewas dipiihak Belanda ada 15 ribu, sebanyak 8 ribu tentara Belanda dan 7 ribu tentara pribumi.
Sementara dari pihak pangeran Diponegoro dan rakyat Jawa konon jumlahnya mencapai 200 ribu.
Tentu saja pemerintah kolonial Belanda menjadi kelimpungan, akibat kerasnya perlawanan Pangeran Diponegoro dengan strategi berperangnya.
Baca juga: SKK Migas Jabanusa Beri Kuliah Umum di Universitas Mataram
Bahkan menurut catatan sejarah pada kaktu itu kondisi keuangan Nederland mulai awal abad 19 hampir kolafs, utang bertumpuk, ekonomi melorot.
Berikut ini beberapa hal yang mempengaruhi Kerajaan Belanda nyaris bangkrut, antara lain karena masalah:
* Keterlibatan Belanda dalam revolusi Prancis.
* Perang kemerdekaan Belgia yang berakhir dengan pemisahan Belgia dari Belanda,
* Penghasilan dari ekploitasi tanah jajahan tidak memadai atau kecil.
* Perang Diponegoro menjebol anggaran terlalu besar mencapai 20 juta gulden.
Baca juga: Mengulik Sejarah si Manis Gudeg Jogja, Kuliner Tua yang Melegenda
* Ketika raja Willem III sedang bingung suringung, muncullah ide dari Jendral Van den Bosch yang disebut tanam paksa atau cultuurestelsel.
* Ketika ide itu disodorkan kepada kangjeng raja, boss besar itu anggukan kepala tanda oke.
* Ide dasarnya tanam paksa itu adalah melibatkan rakyat (terutama para petani) di Hindia Belanda melakukan penanaman komoditas pertanian yang bisa dijual di pasar Eropah terutama tanaman perkebunan seperti teh, karet dan kakao).
* Van den Bosch kemudian diangkat menjadi Gubernur Jendral Hinda Belanda (Indonesia). Tahun 1830 pak Gubernur Jendral itu berangkat ke Betawi.
* Tanpa menunggu peraturan tentang tanam paksa, dia langsung tancap gas melaksanakan.
Baca juga: USM-Ummat Mataram Jalin Kerja Sama Bidang Penelitian dan Pengajaran
Aturan dalam bentuk Staatsblad baru keluar tahun 1834. Sebenarnya Staatsblad 22 tahun 1834 isinya baik dan adil:
Program itu bersifat sukarela tanpa memaksa,
Para Bupati dan kepala desa diminta untuk menyampaikan program itu kepada masyarakat khususnya para petani,
Lahan yang digunakan program tidak melibihi seperlima (20%) dari luas lahan yang dimiliki.
Baca juga: PSI Klaim, MK Tolak Gugatan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Berkat Buah Perjuangannya
Volume atau sifat pekerjaan tidak lebih berat dari penanaman tanaman pangan,
Lahan yang digunakan program tidak dikenai pajak,
Jika gagal tidak disengaja, ditanggung pemerintah, tapi dalam pelaksanaannya banyak sekali perbedaannya.
Bersifat memaksa, tidak diketahui apakah itu ide para bupati dan kepala desa.
Di zaman kolonial itu banyak pejabat pribumi yang kadang lebih kejam dari kolonialnya sendiri, licik dan koruptif.
Baca juga: Terkena Seruan Boikot, Begini Tanggapan dari Cola-Cola Indonesia
Lahan yang digunakan melebihi seperlima,
Volume atau sifat pekerjaan lebih berat dari menanam tanaman pangan (padi dan lain-lain),
Pajak atas lahan yang digunakan tetap dikenai pajak, akibatnya para petani mengeluh. Mereka banyak yang kekurangan makan, sengsara dan kelaparan.
Sebaliknya pihak penjajah keenakan, biaya perang dan utang teratasi, tapi penderitaan rakyat di tanah jajahan tidak terperkirakan. **