bjb Kredit Kepemilikan Rumah
Helo Indonesia

Arinal-Sutono, Keberuntungan atau Kebuntungan Democracy?

Herman Batin Mangku - Opini
16 jam 56 menit lalu
    Bagikan  
Prof. Sudjarwo
Prof. Sudjarwo

Prof. Sudjarwo - Prof. Sudjarwo

Oleh Prof. Sudjarwo*

BEBERAPA hari lalu, HBM menulis di medea ini bagaimana sepak terjang para peminat kursi "Lampung Satu" bersilat untuk meraih jabatan idaman. Semua jurus dikeluarkan, bahkan rekomendasi dari pusat diabaikan demi cita idaman.

Analisis HBM kelihatan sangat hati-hati dalam menulis, karena beliau ingin membuat jarak obyektif terhadap peristiwa; walaupun hal itu tidak mudah, karena HBM pada masa lalu pernah ikut di salah satu gerbong itu.

Dengan gaya bahasa yang ligat beliau tampilkan analisis berbobot jurnalis yang sangat bagus.
Tulisan ini mencoba melihat sisi lain yang terlewat oleh HBM, karena luput dari perhatiannya, atau mungkin sengaja menghindar agar tidak terperosok pada kawasan subyektif.

Baca juga: Arinal vs Mirza, Petarungan Langit

Itu semua sah-sah saja karena uraian HBM bukan reportase peristiwa tetapi analisis peristiwa. Sisi yang terlewat itu adalah, mestinya semua kita berterimakasih kepada petahana, dan beliau untuk peristiwa ini patut disebut penyelamat demokrasi.

Atas keberanian petahana “melawan” kesewenangan pusat, tentu dengan segala macam konsekwensinya, itu berarti membuat “lawan kotak kosong” tinggal mitos.

Penulis yakin, dan mungkin juga HBM, jika petahana menang, sikap pusat akan berubah total, dan dengan dalih berlindung pada dinamika politik, dengan tidak malu-malu akan mengatakan petahana adalah penyelamat organisasi.

Berbeda jika kalah, maka organisasi akan menghukumnya dengan mungkin tidak setimpal. Hakul yakin dalil yang paling aman untuk dipakai oleh pusat adalah “melanggar kode etik”.

Keadaan seperti ini meminjam istilah Palembang ….”idak galak berejo tapi nak melok menang bae" yang terjemahan bebasnya tidak mau ikut berusaha tetapi mau ikut menangnya saja.

Apakah ini yang menyebabkan organisasi banteng moncong putih membelakangkan diri dalam pencalonan, termasuk Kota Bandarlampung, agar mitos kotak kosong tidak terbukti.

Semua tergantung pisau mana yang kita pakai menganalisis, dan tentu para pakar politik-lah yang patut membedahnya.

Hanya perbedaannya jika provinsi petahana bermain tipis-tipis, sehingga tidak terlalu “gas pool” dalam bekerja, karena tampaknya beliau sadar diri, namun juga harus menjaga harga diri.

Sementara untuk kota tampaknya petahana menampilkan kekuatan penuh untuk berhadapan dengan pemain baru yang tampak masih malu-malu.

Oleh karena itu bisa dikatakan jika pada level proviinsi yang maju ke gelanggang adalah para petarung sejati, sementara untuk kota ada pada level “mari bertarung”.

Lalu bagaimana dengan perilaku para pemilih. Untuk saat ini, masyarakat kebanyakan baru ada pada tataran “tunggu dan lihat”.

Mereka baru menikmati “Tonil Politik” yang ada di daerah maupun pusat melalui media sosial yang ada dengan segala macam “kembang”nya.

Sementara aparat keamanan sekarang harus lebih hati-hati dalam berperilaku di lapangan, karena kemarin mereka sempat melakukan kesalahan fatal dengan melakukan penyiksaan di lapangan.

Bahkan korbannya-pun tidak “kaleng-kaleng”, diantaranya adalah anak seorang mantan Jenderal Angkatan Darat yang terkenal pada masanya. Sampai tulisan ini dibuat kalimat “maaf” belum pernah keluar dari lembaga resmi pemerintah.

Kekhawatiran yang muncul justru semua tontonan tadi membuat “Cognitive Map” para pemilih terisi oleh memori negatif tentang pelaksanaan pemilukada.

Jika ini tidak diantisipasi dengan baik oleh penyelenggara pemilu, justru dapat menyebablan rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam menggunakan hak suaranya. Maka jika keadaan itu yang terjadi betapa mahalnya harga demokrasi yang harus kita bayar.

Terakhir untuk melengkapi analisis HBM adalah, jika para pejabat penyelenggara negara tidak mampu menjaga lisannya, bahkan komentarnya justru melukai hati rakyat, maka jangan harap simpati rakyat akan tumbuh. Justru sebaliknya akan membuat rakyat makin merasa jauh.

Melalui tulisan ini dipesankan…pemilihan apapun akan sia-sia manakala tidak ada yang datang memilih…oleh sebab itu cobalah berlaku manis kepada para pemilih, karena nasib yang dipilih itu ditetapkan Tuhan melalui tangan-tangan pemilih.
Salam Waras. -

* Guru Besar Universitas Malahayati Lampung