bjb Kredit Kepemilikan Rumah
Helo Indonesia

Suara Rakyat dan Kekuasaan   

Anang Fadhilah - Opini
Jumat, 12 April 2024 07:07
    Bagikan  
dr Pribakti B
dr Pribakti B

dr Pribakti B - dokter di RSUD Ulin Kota Banjarmasin

oleh : dr Pribakti B, SpOG (K) *)

Suara rakyat ya suara rakyat. Titik. Jangan lagi sebut suara rakyat suara Tuhan. Tak perlu kita membawa-bawa nama Tuhan ke dalam politik. Karena di dunia politik kita tak percaya kepada Tuhan. Banyak pejabat kita yang bersumpah demi Tuhan dengan suara lembut, tapi hakikatnya melawan Tuhan. Ini disaksikan para hamba Tuhan yang lain, yang tak akan membiarkan manipulasi keji macam itu dibiarkan berlangsung terus-menerus untuk merusak pendidikan politik bagi seluruh rakyat. Dengan kata lain, prinsip “suara rakyat, suara Tuhan” sering diisi hal-hal yang kurang cermat, kurang mendasar, kurang sopan, dan kurang bijak. Ini karena kebanyakan pejabat memang sering sok kuasa, sok raja dan kadang sok intelek. Banyak pula yang sinis dan tak ada niat baik melakukan koreksi diri. Kritik dianggap angin lalu.

 

Sayangnya rakyat - kita ini pada umumnya - percaya , jika bersumpah demi Tuhan dan tampaknya membela agama, seseorang pasti dianggap benar. Rakyat mudah dikecohkan oleh sumpah yang kelihatannya suci. Apalagi sumpah itu datang dari seorang tokoh agama jemaah kaum terpelajar yang memakai nama agama. Padahal yang namanya suara rakyat beda dari suara kaum elite. Suara rakyat meneriakkan kebenaran, meminta keadilan ditegakkan. Sedangkan kaum elite berteriak tentang penyelamatan, gigih melakukan konspirasi dengan berbagai cara untuk menyelamatkan “kawan kita”. Kesetiaan buta terhadap kawan sungguh tidak sehat.

 

Tapi bagi mereka hal itu penting sekali. Adil dan tidak adil bukan isu politik penting. Adil tapi tak menjamin keselamatan bagi kaum elite, merupakan keadilan terkutuk. Keselamatan diri, kawan dan nama organisasi di atas segalanya. Inilah semangat “golonganisme” yang begitu dahsyat mencampuri perdebatan publik dan bahkan mengarahkan ke jurusan mana perdebatan harus berakhir. Golonganisme merusak orientasi nilai kita. Dengan tertatih-tatih kita mencoba menemukan kiblat yang lebih sehat. Kita memihak kepentingan nilai, bukan kepentingan kawan, adik, abang, bukan pula golongan.

 

Dalam kasus hukum misalnya , yang statusnya diubah cepat menjadi kasus politik adalah penyimpangan prinsip keadilan . Pokoknya harus selamat. Selamat nama dan citra sosialnya. Selamat keluarga dan karier politiknya. Selamat juga organisasinya. Suatu kepentingan besar yang didukung kaum elite bersepakat meraih target kecil : membela orang, bukan nilai.

 

Maka dengan tenang tokoh yang bermasalah ini memasuki dunia baru di bawah pemimpin baru, yang pada hakikatnya bermain dengan cara-cara yang sudah lama dikenalnya. Dia tahu bahwa dia diselamatkan. Dia tahu cara penyelamatan ini melawan keadilan. Dan dia tahu harus berperan pura-pura benar dalam segenap kepalsuannya.

 

Di negeri kita, kepalsuan tetap berlaku. Orang masih  percaya bahwa apa yang palsu itu benar jika ditempeli nama Tuhan dan agama. Kesalehan palsu larisnya minta ampun. Para tokoh politik pun semakin berani bersumpah atas nama Tuhan dan agama. Masyarakat kita, yang mudah kagum akan sebutan Tuhan dan agama, menjadi rentan penipuan. Secara kejiwaan, sosial maupun politik, masyarakat kita terdiri atas onggokan sifat naif yang agak memalukan. Selebihnya, kenaifan ini membuat kita begitu permisif terhadap berbagai keburukan.

 

Begitu halnya dengan media, yang tak kalah naif dan permisif, mudah mengutuk habis-habisan siapa saja yang dianggap layak dikutuk. Tapi besoknya, ketika angin reda, si terkutuk itu bisa saja - menjadi tokoh pujaan. Ini merupakan tata kehidupan edan dalam arti sebenarnya. Masyarakat dibuat tak punya pegangan tentang baik-buruk, salah-benar, atau mulia-hina. Kita kehilangan wawasan tentang keluhuran-kebusukan.

 

Yang menarik, sesudah suatu kasus korupsi yang terungkap membakar emosi rakyat ditetapkan sebagai perkara pidana oleh penegak hukum, dukungan yang berbau golonganisme muncul tanpa malu-malu. Golongan yang besar orientasinya itu dikorbankan . Fakta mengenai penyimpangannya yang berlangsung lama, kekayaannya yang  bertumpuk-tumpuk - padahal dia bukan keturunan nabi Sulaiman, bukan trah Qorun - dianggap murah. Tak ada jiwa yang terusik memikirkan dari mana datangnya kekayaan yang tak layak macam itu.

 

Celakanya tokoh hukum top sebagai pembela sang tokoh, yang selayaknya bicara hati-hati agar tak menyinggung rasa keadilan rakyat, nyerocos begitu saja seperti ember bocor. Ini watak permisif yang memperlihatkan pembelaan atas sesuatu kasus hukum yang tidak layak dibela. Ditambah keberadaan tokoh-tokoh politik senior yang memperlihatkan pemihakan serupa . Keduanya cermin semangat golonganisme yang naif dan berteriak tentang penyelamatan demi solidaritas buta. Saya lain. Bagi saya, suara rakyat, ya suara rakyat. Gigih berjuang agar keadilan ditegakkan. Semoga selamat negeri ini!

 

*) dokter di RSUD Ulin Kota Banjarmasin